Senin, 11 April 2011

psikologi pendidikan


BAB 11
Faktor Internal dan Eksternal Pembelajaran

1.      Faktor internal
Belajar sebagai suatu aktivitas mental atau psikis dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar dan hasil belajar tersebut menurut Slameto (1988:56) dan Suryabrata (1986) dibagi atas dua faktor utama, yaitu faktor yang bersumber dari dalam diri peserta didik dan faktor yang bersumber dari luar peserta didik. Faktor yang bersumber dari dalam diri individu disebut faktor internal dan yang bersumber dari luar diri individu disebut eksternal. Adapun faktor-faktor yang berasal dari dalam diri peserta didik dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu:

a.      Faktor-faktor Fisiologis
1)   Kondisi fisiologis
Kondisi fisiologis pada umumnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar seseorang. Orang yang dalam keadaan segar jasmaninya akan berlainan belajarnya dari orang yang dalam keadaan kelelahan. Anak-anak yang kekurangan gizi ternyata kemampuan belajarnya di bawah anak-anak yang tidak kekurangan gizi, mereka cepat lelah, mudah mengantuk, dan sukar menerima pelajaran.[1]
Faktor kesehatan sebagai faktor internal yang mempengaruhi proses dan hasil belajar, dengan maksud bahwa peserta didik yang mengalami gangguan kesehatan akan tidak dapat belajar dengan maksimal dan optimal, misalnya peserta didik yang sedang menjalani ujian dalan kondisi tidak sehat akan berbeda kondisi belajarnya dan hasil belajarnya dengan peserta didik yang menjalani ujian dalam kondisi kesehatan prima. Oleh karena itu, peserta didik sangat diharapkan untuk selalu menjaga kesehaatan agar tetap sehat.[2]
2)   Kondisi panca indera
Selain kondisi fisiologis, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kondisi panca indera (mata, hidung,pengecap, telinga dan tubuh), terutama mata sebagai alat untuk melihat dan sebagai alat untuk mendengar. Sebagian besar yang dipelajari manusia (anak) yang belajar berlangsung dengan membaca, melihat contoh, atau model, melakukan observasi, mengamati hasil-hasil eksperimen, mendengarkan keterangan guru, mendengarkan ceramah, keterangan orang lain dalam diskusi dan sebagainya. Karena pentingnya penglihatan dan pendengaran inilah maka lingkungan pendidikan formal,orang tua melakkukan penelitian untuk menemukan bentuk dan cara penggunaan alat peraga yang dapat dilihat dan didengar.[3]
Peserta didik yang mengalami cacat tubuh, juga mempengaruhi proses dan hasil belajar peserta didik. Semisal, jika peserta didik mengalami cacat tubuh berupa matanya buta akan mempengaruhi proses dan hasil belajar individu tersebut, sekalipun menggunakan bantuan huruf Braille akan berbeda hasil belajarnya dengan peserta didik yang tidak mengalami cacat mata, namun beberapa kasus tertentu menyebutkan ada peserta didik yang menyandang tuna netra justru menunjukkan prestasi yang gemilang disbanding dengan peserta didik yang normal. [4]
Aspek fisiologis inilah yang diakui mempengaruhi pengelolaan kelas. Pengajaran dengan pola klasikal perlu memperhatikan tinggi rendahnya postur tubuh anak didik. Postur tubuh anak didik yang tinggi sebaiknya ditempatkan di belakang anak yang bertubuh pendek. Hal ini dimaksudkan agar pandangan anak didik ke papan tulis tidak terhalang oleh anak yang bertubuh tinggi. Anak didik yang berjenis kelamin sama dikelompokkan pada jenis yang sama. Pengelompokan yang demikian ini sangat baik dalam pandangan moral dan agama. Tetapi yang lebih penting adlah untuk meredam gejolak nafsu birahi untuk anak didik yang sedang meningkat ke usia remaja, di mana masa ini termasuk pancaroba, penuh dengan letupan-letupan emosional yang cenderung tak terkendali.

b.      Faktor-faktor Psikologis
Faktor psikologis sebagai faktor dari dalam tentu saja merupakan hal yang utama dalam menentukan intensitas belajar seorang anak. Meski faktor luar mendukung, tetapi faktor psikologis tidak mendukung, maka faktor dari luar itupun akan kurang signifikana. Oleh karena itu, intelijensi, minat, perhatian, bakat, motivasi, kematangan, dan kesiapan peserta didik sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar peserta didik di sekolah. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor psikologis tersebut berkontribusi secara signifikan dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar peserta didik di sekolah, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Nah. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan satu persatu.[5]
a)   Minat
Minat menurut Slameto (1991: 182) adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat paad dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungnan antara diri sendiri denga sesuatu dari luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat.
Suatu minat dapat diekspresikan melalui suatu pernyataan yang menunjukkan bahwa anak didik lebih menyukai suatu hal daripada hal lainnya, dapat pula dimanifestasikan melalui partisipasi dalam suatu aktivitas. Anak didik yang memiliki minat terhadap suatu subyek tertentu cenderung untuk memberikan perhatian yang lebih besar terhadap subyek tersebut.[6] Minat yang besar terhadap sesuatu merupakan modal yang besar untuk mencapai tujuan yang diminati. Timbulnya minat disebabkan berbagai hal, antara lain karena keinginan yang kuat untuk menaikkan martabat atau memperoleh pekerjaan yang baik serta ingin hidup senang dan bahagia. Minat yang besar cenderung menghasilkan prestasi yang tinggi, sebaliknya minat belajar yang kurang akan menghasilkan prestasi yang rendah. [7]
Namun, persoalannya sekarang adalah bagaimana menimbulkan minat anak didik terhadap sesuatu? Memahami dan melayani kebutuhan anak didik adalah salah satu upaya membangkitkan minat anak didik. Jangan dipaksakan agar anak didik tunduk pada kemauan guru untuk memilih juurasan lain yang sebenarnya tidak diminati anak didik. Dipakasakan juga pasti akan merugikan anak didik. Anak didik cenderung malas belajar untuk mempelajari mata pelajaran yang tidak disukainya. Anak didik pasrah pada nasip dengan nilai apa adanya.[8]  Di samping memanfaatkan minat yang telah ada, para pendidik juga diharapkan berusaha membentuk minat-minat baru pada diri anak didik. Hal ini dapat dicapai dengan jalan memberikan informasi mengenai hubungan antara suatu bahan pengajaran yang akan diberikan dengan bahan pengajaran yang lalu, menguraikan kegunaannnya bagi anak didik di masa yang akan datang, atau bisa juga menghubungkan bahan pengajaran dengan suatu berita sensasional yang sudah diketahui kebanyakan anak didik. Misalnya, anak didik akan menaruh perhatian pada pelajaran tentang gaya berat, bila hal ini dikaitkan dengan peristiwa mendaratnya manusia pertama di bulan.[9]
Bila usaha-usaha tersebut tidak berhasil, pendidik dapat memakai insentif dalam usaha mencapai tujuan pengajaran. Insentif merupakan alat yang dipakai untuk membujuk seseorang agar melakukan sesuatu yang tidak mau melakukannya atau yang tidak dilakukannya dengan baik. Lamanya minat itu sendiri bervariasi, kemampuan dan kemauan menyelesaikan suatu tugas yang diberikan untuk selama waktu yang ditentukan berbeda-beda baik dari segi umur maupun bagi masing-masing individu. Untuk anak yang sangat muda, lamanya minat dalam kegiatan tertentu sangat pendek. Minat senantiasa berpinah-pindah; namun, demikian ia menghendaki keaktifan. Ia kerap kali mendasarkan kegiatan-kegiatannya atas pilihan sendiri dan dapat lebih suka mengusahakan sesuatu tertentu daripada yang lainnya. Karena minat yang terdapat dalam kegiatan untuk kepentingan diri sendiri dari pada untuk mencapai sesuatu hasil tertentu, sehingga ia mudah dikacaukan dan mudah tertarik pada kegiatan yang lain.tidak halnya dengnan terhadap orang yang lebih tua. Mereka justru dapat mempertahankan minatnya terhadap sesuatu dari pada berpindah-pindah kepada hal-hal lain.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa minat tidak dibawa sejak lahir, melainkan diperoleh kemudian. Maka dari itu minat dapat tumbuhkan dan dikembangkan pada diri anak didik. Caranya yaitu dengan jalan memberikan informasi pada anak didik mengenai hubungan antara suatu bahan pengajaran yang akan diberikan dengan bahan pengajaran yang lalu atau menguraikan kegunaannya di masa depan bagi anak didik. Sedangkan para ahli pendidikan berpendapat bahwa cara yang paling efektif untuk membangkitkan minat pada suatu subyek yang baru adalah dengan menggunakan minat-minat anak didik yang telah ada. Misalnya, beberapa anak didik menaruh minat pada olah raga balap mobil. Sebelum mengajarkan percepatan gerak, pengajar dapat menarik perhatian anak didik dengan menceritakan sedikit mengenai balap  mobil yang baru saja berlangsung, kemudian sedikit demi sedikit diarahkan ke materi pelajaran yang sesungguhnya.[10]
b)   Kecerdasan
“ Didiklah anak sesuai taraf umurnya. Pendidikan yang berhasil karena menyelami jiwa anak didiknya”, demikian yang dikatakan oleh Raden Cahaya Prabu. Yang menarik dari ungkapan tersebut adalah tentang umur dan menyelami jiwa anak didik. Kedua persoalan ini tampaknya tidak bisa dipisahkan. Bagaimana mungkin pertumbuhan umur seseorang dari usia muda lalu tua tidak di ikuti oleh perkembangan jiwanya. Para ahli telah menjelaskan bahwa semakin meningkat umur seseorang semakin dewasa pula cara berpikirnya. Perkembangan berpikir seseorang dari yang kongkret ke yang abstrak tidak bisa dipisahkan dari perkembangan inteligensinya. Semakin meningkat umur seseorang semakin abstrak cara berpikirnya.
Raden Cahaya Prabu menyatakan bahwa perkembangan taraf inteligensi sangat pesat pada masa umur balita dan mulai menetap pada akhir masa remaja. Taraf intelijensi tidak mengalami penurunan, yang menurun hanya penerapannya saja, terutama setelah umur 65 tahun ke atas bagi mereka yang alat inderanya mengalami kerusakan.[11] Karena inteligensi diakui ikut menentukan keberhasilan belajar seseorang, M. Dalyono (1997:56) menyatakan dengan tegas bahwa seseorang yang memiliki intelijensi baik (IQ-nya tinggi) umumnya mudah belajar dan hasilnya pun cenderung baik. Sebaliknya, orang yang inteligensinya rendah, cenderung mengalami kesukaran dalam belajar, lambat berpikir, sehingga prestasi belajarnya pun rendah. Oleh karena itu, kecerdasan mempunyai peranan yang besar dalam ikut menentukan berhasil dan tidaknya seseorang mempelajari sesuatu atau mengikuti suatu program pendidikan dan pengajaran. Dan orang yang lebih cerdas pada umumnya akan lebih mampu belajar daripada orang yang kurang cerdas.
Berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan yang erat antara IQ dengan hasil belajar di sekolah. Berdasarkan informasi mengenai taraf kecerdasan dapat diperkirakan bahwa anak-anak yang mempunyai IQ 90-100 pada umumnya akan mampu  menyelesaikan sekolah dasar tanpa banyak kesukaran, sedang aank-anak yang mempunyai IQ 70-89 akan memerlukan bantuan-bantuan khusus untuk dapat menyelesaikan sekolah dasar. Pada sisi lain, pemuda-pemudi yang mempunyai IQ di atas 120 pada umumnya akan mempunyai kemampuan untuk belajar di perguruan tinggi. Maka dari itu, anak-anak yang taraf inteligensinya di bawah rata-rata, yaitu dull normal, debil, embicil, dan idiot sukar untuk sukses dalam sekolah. Mereka tidak akan mencapai pendidikan tinggi karena kemmpuan potensinya terbatas. Sedangkan anak-anak yang taraf inteligensinya normal, di atas rata-rata seperti superior, gifted atau genius, jika saja llingkungan keluarga, masyarakat, dan lingkungan pendidikannya turut menunjang, maka mereka akan dapat mencapai prestasi dan keberhasilan dalam hidupnya.
Anak gifted diklasifikasikan dalam dua golongan, yaitu: Pertama, extremely gifted child (genius) dengan taraf inteligensi 160-200. Kedua, superior child, yang mempunyai taraf inteligensi antara 125-160. Dalam penelitian Gertrude Hildreth yang menyatakan bahwa anak-anak gifted yang IQ-nya anatara 135-145 menunjukkan sikap periang, ramah dan umumnya sering menjadi pemimpin dari teman-teman sebayanya. Sedangkan anak gifted dengan IQ 175 banyak yang mengalami kesulitan dalam bergaul dan kurang dapat memanfaatkan kemampuannya sehingga sering kurang dihargai kawan-kawannya. Pendapat ini juuga diperkuat oleh Lete S. Hollingworth yang menyatakan bahwa anak gifted yang taraf inteligensinya lebih dari 180 mempunyai kesulitan dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kecerdasan merupakan salah satu faktor dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar di sekolah.[12]
c)   Bakat
Di sampingkan inteligensi (kecerdasan), bakat meruapkan faktor yang besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil belajar seseorang. Belajar pada bidang yang sesuai dengan bakat memperbesar kemungkinan berhasilnya usaha itu. Bakat memang diakui sebagai kemampuan bawaan yang merupakan potensi yang masih perlu dikembangkan atau latihan. Dalam kenyataan tidak jarang ditemukan seorannng individu dapat menumbuhkan dan mengembangkan bakat bawaannya dalam lingkungan yang kreatif. Orang lain dan orang sekitarnya dengan rela hati bersedia meluangkan waktu untuk mengembangkan dan memberikan latihan terhadap potensi bakat yang terpendam di dalam diri seseorang. Bakat bawaan ada kemungkinan terkait dengan garis keturunan dari ayah atau ibu. Istilah darah seni yang mengalir dalam tubuh seorang anak dan menyebabkan anak pandai menyanyi dan menyenanginya karena dididik dan dilatih. Hal ini disebabkan, karena orang tuanya seorang penyanyi maka anak cenderung ingin mengikuti jejak langkah orang tuanya itu. Besarnya minat seorang anak untuk mengikuti jejak langkah orang tuanya tersebut, akhirnya menumbuhkan bakat terpendamnya menjadi kenyataan.
Sebenarnya banyak bakat bawaan (terpendam) yang dapat ditumbuhkan asalkan diberikan kesempatan dengan sebaik-baiknnya. Di sini tentu saja diperlukan pemahaman tehadap bakat apa yang dimiliki oleh seseorang. Bakat memungkinkan seseorang untuk mencapai prestasi dalam bidang tertentu, akan tetapi diperlukakn latihan, pengetahuan, pengalaman, dan dorongan atau motivasi agar bakat itu dapat terwujud. Misalnya, seseorang mempunyai bakat menggambar, jika ia tidak pernah diberi kesempatan untuk mengembangkan, maka bakat tersebut tidak akan tampak. Jika orang tuanya menyadari  bahwa ia mempunyai bakat menggambar dan mengusahakan agar ia mendapatkan pengalaman yang sebaik-baiknya untuk mengembangkan bakatnya, dan anak itu juga menunjukkan minat yang besar untuk mengikuti pendidikan menggambar, maka ia akan dapat mencapai prestasi yang unggul bahkan dapat menajadi pelukis terkenal. Sebaliknya, jika seoarang anak yang mendapatkan pendidikan menggambar yang baik, namun tidak memiliki bakat menggambar, maka tidak akan pernah mencapai prestasi dibidang tersebut.
Suatu kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa bakat bukanlah persolan yang berdiri sendiri. Paling tidak ada dua faktor yang ikut mempengaruhi perkembangannya, yaitu faktor anak itu sendiri misalnya, anak tidak atau kurang berminat untuk mengembangkan bakat-bakat yang dimiliki, atau mungkin juga mempunyai kesulitan, sehingga ia mengalami hambat dalam mengembangkan diri dan berprestasi sesuai dengan bakatnya. Lingkungan anak sebagai faktor di luar diri anak, bisa menjadi penghalang perkembangan bakat anak. Misalnya, orang tuanya kurang mampu untuk menyediakan kesempatan dan sarana pendidikan yang dibutuhkan, atau ekonominya cukup tinggi, tetapi kurang memberikan perhatian pendidikan anak. Tetapi lingkungan yang ramah dan kreatif telah disediakan bagi anak untuk mengembangkan bakatnya, namun karena anak tidak berhasrat untuk mengembangkannya, maka bakat anak itu tetap saja menjadi potensi bawaan yang bersifat pasif, tidak dapat berkembang. Begitupun bila anak ingin mengemabangkan bakatnya, karena lingkungan tidak mendukungnya, maka bakat anak mengalami kendala yang serius dalam perkembangannya. Jadi, kedua faktor anak didik dan lingkungan anak didik harus mendorong ke arah perkembangan bakat yang optimal. Oleh sebab itu, sejauh mana bakat tersebut dapat diwujudkan tergantung dari kondisi dan kesempatan yang diberikan oleh lingkungan keluarga dan masyarakat. Banyak anak yang potensial berbakat tidak dapat mewujudkan keunggulannya karena lingkungan mereka menghambat pertumbuhan intelektual secara optimal.[13]
d)  Motivasi
Motivasi adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Jadi, motivasi untuk belajar adalah kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. Penemuan-penemuan dalam penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar pada umumnya meningkat jika motivasi untuk belajar bertambah.[14] Hal ini dipandang masuk karena banyak bakat anak yang tidak berkembang disebabkan tidak diperolehnya motivasi yang tepat. Jika seseorang mendapat motivasi yang tepat, maka lepaslah tenaga yang luar biasa, sehingga tercapai hasil-hasil yang semula tidak terduga.[15] Bahkan sering kali anak yang tergolong cerdas tampak bodoh karena tidak memiliki motivasi untuk mencapai prestasi sebaik mungkin. Berbagai faktor bias saja membuatnya bersikap apatis. Misalnya, karena keadaan lingkungan ayng mengancam, perasaan takut diasingkan oleh kelompok bila anak didik berhasil atau karena kebutuhan untuk berprestasi pada diri anak didik sendiri kurang atau mungkin tidak ada. Ada tidaknya motivasi untuk berprestasi pada diri anak didik cukup mempengaruhi kemampuan intelektualnya agar dapat berfungsi secara optimal.[16]
Kuat lemahnya motivasi belajar seseorang turut mempengaruhi keberhasilan belajar. Karena itu, motivasi belajar perlu diusahakan, terutama yang berasal dari dalam diri (motivasi intrinsik) dengan cara senantiasa memikirkan masa depan yang penuh tantangan dan harus dihadapi untuk mencapai cita-cita. Senantiasa memasang tekad bulat dan selalu optimis bahwa cita-cita dapat dicapai dengan belajar.
Mengingat motivasi merupakan motor penggerak dalam perbuatan, mak bila ada anak didik yang kurang memiliki motivasi intrinsik, diperlukan dorongan dari luar, yaitu motivasi ekstrinsik, agar anak didik termotivasi untuk belajar. Anak-anak pada masa permulaan sekolah dapat distimulus untuk memperkuat pekerjaan-pekerjaan yang baik melalui pujian-pujian dari guru, menampilkannya sebagai juara atau dengan memberikan hadiah yang bersifat kebetulan. Motivasi untuk anak-anak belum cukup memberikan kekuatan dalam menguasai bahan-bahan pelajaran, sepaerti dalam menerima perhatian-perhatian yang tertentu. Anak makin tumbuh menjadi lebih tua, motivasi-motivasi yang ada padanya makin berpengaruh dalam belajarnya. Hadiah yang sifatnya diberikan secara kebetulan tetap memainkan peranan bahkan hal itu akan tetap mereka perbuat sampai mencapai tingkat dewasa. Akan tetapi, motivasi-motivasi lain yang lebih langsung dikenakan pada pribadi-pribadi yang dalam keadaan sehat adalah dapat emnjadi berarti. Misalnya, seoarang anak pada masa remaja mungkin akan memberi perhatian yang khusus terhadap pelajaran-pelajarannya jika ia mengetahui kegunaan praktis dan karena itu akan menjadikan pelajaran itu bernilai baignya sebagai sesuatu yang dapat diperolehnya dalam kehidupan. Kerap kali kita dengar seorang anak didik mengeluh karena ia melihat tidak adanya alasan untuk mempelajari suatu bahasa asing atau ilmu pasti. Dalam hal ini, anak didik itu tidak ada motivasi yang dapat membawa kepuasan baginya dari pemakaian energi pada mata pelajaran itu, penggunaan waktu belajar yang dianggap sia-sia memperlihatkan tidak adanya nilai praktis bila mempelajarinya.
e)    Kemampuan Kognitif
Dalam dunia pendidikan ada tiga tujuan pendidikan yang sangat dikenal dan diakui oleh para ahli pendidikan, yaitu ranah kognif, afektif, dan psikomotor. Ranah kognitif merupakan kemampuan ayng selalu dituntut kepada anak didik untuk dikuasai. Karena penguasaan kemampuan pada tingkatan ini menjadi dasar bagi penguasaan ilmu pengetahuan.
Ada tiga kemampuan yang harus dikkuasai sebagai jembatan untuk sampai pada penguasaan kemampuan kognitif, yaitu persepsi, mengingat, dan berpikir. Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia.  Melalui persepsi manusia terus-menerus mengadakan hubungan dengan lingkungan. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera penglihatan, pendengar, peraba, perasa, dan pencium. Dalam pengajaran pendidik harus menanamkan pengertian dengan cara menjelaskan materi pelajaran sejelas-jelasnya, bukan bertele-tele kepada anak didik, sehingga tidak terjadi kesalahan anak didik. Kemungkinan kecilnya kesalahan persepsi anak bila penjelasan yang diberikan itu mendekati obyek yang sebenarnya. Semakin dekat penjelasan guru dengan realitas kehidupan semakin mudah anak didik menerima dan mencerna materi pelejaran yang disajikan. Seorang anak yang telah memiliki kemampuan persepsi ini berarti telah mampu menggunakan bentuk-bentuk representasi yang meawkili obyek-obyek yang dihadapi, baik obyek itu orang, benda, atau kejadian/peristiwa. Obyek-obyek itu direpresentasikan atau dihadirkan dalam diri seseorang malalui tanggapan, gagasan, atau lambing, yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental. Gagasan dan tanggapan itu dituangkan dalam kata-kata yang disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya atau dalam bentuk tulisan orasi ilmiah. Karena kempuan kognitif in, orang dapat menghadirkan realitas dunia di dalam dirinya sendiri, dari hal-hal yang bersifat material dan berperaga seperti perobo rumah tangga dan, kendaraan, bangunan, an orang, sampai hal-hal yang tidak bersifat material dan berperaga seperti “keadilan, kejujuran”, dan lain sebagainya. Jadi jelaslah, jika semakin banyak pikiran dan gagasan dimiliki seseorang, semakin kaya dan luaslah alam pikiran kognitif orang tersebut. Oleh sebab itu, kemampuan kognitif ini harus dikembangkan melalui belajar.
Mengingat adalah suatu aktivitas kognitif, di mana orang menyadari bahwa pengetahuannya berasal dari masa lampau atau berdasarkan kesan-kesan yang diperoleh di masa lampau. Terdapat dua bentuk mengingat, yaitu mengenal kembali (rekognisi) dan mengingat kembali (reproduksi). Dalam mengenal kembali, orang berhadap dengan suatu objek dan pada saat itu dia menyadari bahwa objek itu pernah dijumpai di masa yang lampau. Dalam mengenal kembali, aktivitas mengingat ternyata terikat pada kontak kembali dengan objek; seandainya tidak ada kontak, juga tidak terjadi mengingat. Teringatnya kembali kesan-kesan di masa lampau karena kesan-kesan yang berada di alam bawah sadar terangkat kealam sadar dengan cara “asosiasi”. Oleh karena itu, dalam mengenal kembali, orang tau bahwa objek yang dijumpainya sekarang ini cocok suatu gagasan, pikiran atau tanggapan yang tersimpan dalam ingatannya, sejak bertemu dengan objek itu untuk pertama kali di masa lalu.
Dalam mengingat kembali (reproduksi), dihadirkan suatu kesan dari masa lampau dalam bentuk suatu tanggapan atau gagasan, tetapi hal yang diingat itu tidak hadir pada saat mengingat kembali seperti terjadi pada mengenal kembali. Pada waktu mengingat kembali, orang merepruduksikan apa yang pernah dijumpai, tanpa kontak dengan hal yang pernah dijumpai itu. Kegiatan mengingat kembali (reproduksi) ini merupakan kegiatan yang terbanyak dilakukan anak didik di sekolah. Materi pelajaran yang bersifat hafalan sangat memerlukan kegiatan mengingat kembali ini. Konsentrasi tingkat tinggi sangat dituntut kepada anak didik untuk mendukung usaha mengingat kembali materi yang sudah dihafal. Papda akhirnya, apakah kegiatan mengingat itu dengan usaha rekognisi atau reproduksi, yang jelas pada prinsipnya mengingat adalah penarikan kembali informasi dalam bentuk kesan-kesan yang tersimpan di alam bawah sadar ke alam sadar yang pernah di peroleh sebelumnya. Entah informasi yang di terima itu disimpan beberapa saat saja, untuk beberapa waktu, atau untuk jangka waktu yang tidak terbatas.
Di kalangan ahli Ilmu Jiwa Asosiasi, menganggap bahwa berpikir adalah kelangsungan tanggapan-tanggapan yang disertai dengan sikap pasif dari subjek yang berpikir. Menurut Garrett, berpikir adalah tingkah laku yang sering implicit dan tersembunyi dan biasa dengan menggunakan simbol-simbol (gambaran-gamabaran, gagasan-gaagsan, dan konsep-konsep). Tingkah laku serupa itu tidak terbatas pada “jiwa”, tetapi bias melibatkan seluruh tubuh.  Harus diakui bahwa berppikir merupakan kegiatan mental yan bersifat pribadi. Dan berpikir itu sendiri memiliki tingkatan. Ada tiga tingkatan berpikir manusia, yaitu berpikir kognitif, berpikir skematis, dan berpikir abstrak.
Perkembangan berpikir seorang anak bergerak dari kegiatan berpikir konkret menuju berpikir abstrak. Perubahan berpikir ini bergerak sesuai dengan meningkatnya usia seorang anak. Seorang guru perlu memahami kemmpuan berpikir anak sehingga tidak memaksakan matreri-meteri pelajaran yang tingakat kesukarannnya tiadak sesuai dengan usia anak untuk diterima adan di cerna. Bila hal ini terjadi, maka anak akan mengalami kesukaran dalam mencerna gagasan-gagasan dari materi pelajaran yang diberikan. Materi pelajaran jelas tidak dapat dikuasai anak didik dengan baik. Maka gagallah usaha guru untuk membelajarkan anak didik.[17]
Oleh sebab itu, para pendidik dan calon pendidik harus memperhatikan berbagai faktor psikologis tersebut guna meningkatkan kualitas dan proses pembelajran di sekolah. Faktor psikologis tersebut perlu diketahui dan dipahami oleh seorang pendidik sebagai upaya untuk meningkatkan intelijensi, minat, bakat, perhatian, motivasi, kematangan dan kesiapan peserta didik serta berbagai faktor psikologis lainnya agar proses pembelajaran di kelola oleh guru dapat maksimal dan optimal.
Faktor internal lainnya yang berpengaruh yaitu faktor kelelahan. Peserta didik yang mengalami kelelahan karena telah melakukan pekerjaan berat yang melibatkan kegiatan fisik, akan kurang dapat memusatkan perhatian dalam mengikuti proses pembelajaran di kelas. Peserta didik tersebut cenderung menunujukkan gejala mengantuk, tidak tenang atau gelisah dan susuh memusatkan perhatiannya kepada aktivitas belajar yang dilakukan oleh guru bersama teman kelas lainnya. Oleh karena itu, para pendidikharus memperhatikan gejala perilaku peserta didik yang diakibatkan oleh faktor kelelahan.
Adapun tindakan yang perlu diambil oleh pendidik jika menghadapi peserta didik yang mengalami kelelahan ialah menyuruh anak untuk istirahat agar dapat kembali segar. Selain itu, para pendidik harus mewanti-wanti peserta didik untuk menghindari kelelahan fisik agar mereka tetap segar mengikuti proses pembelajaran di kelas sehingga mereka dapat mencapai kualitas proses dan hasil pembelajaran di kelas.[18]

2.      Faktor eksternal
Faktor eksternal atau faktor yang berasal dari luar diri siswa yaitu kondisi lingkungan disekitar siswa. Faktor ini terdiri dari dua macam aspek, yaitu:
a.    Lingkungan sosial
Yang dimaksut dengan faktor sosial disini adalah faktor manusia (sesama manusia) baik manusia itu ada (hadir) maupun kehadirannya itu dapat disimpulkan, jadi tidak langsung hadir. Kehadiran orang lain pada waktu seseoarang belajar sering kali mengganggu belajar. Misalnya kalau satu kelas murit sedang mengadakan ujian, lalu terdengar banyak anak bercakap-cakap disamping kelas (tidak langsung hadir) atau sesearang sedang belajar dikamar, satu atau dua orang hilir mudik keluar masuk kamar dan sebagainya (kehadirannya langsung) atau dapat disimpulkan kehadirannya seperti potret atau suara radio juga dapat merupakan representasi kehadiran seseorang, yang semua itu juga dapat menggangu konsentrasi belajar perhatiannya tidak dapat ditunjukkan kepada satu hal yang dipelajari.[19]

Faktor ini menyangkup beberapa aspek, yaitu:
1)  Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama, memberi landasan dasar bagi proses belajar pada lingkungan sekolah dan masyarakat. Faktor fisik dan sosial psikologis keluarga sangat berpengaruh terhadap perkembangan belajar anak.
a)    Termasuk faktor fisik dalam keluarga adalah keadaan rumah, ruangan tempat belajar dan prasarana belajar yang ada, suasana dalam rumah apakah tenang atau banyak kegaduhan, juga suasana lingkungan disekitar rumah. Suasana lingkungan rumah disekitar pasar atau terminal berbeda dengan diperumahan.
b)      Tak kalah pentingnya kondisi dan suasana sosial psikologis dalam keluarga. Kondisi dan suasana menyangkut keutuhan keluarga, iklim psikologis, iklim belajar dan hubungan antar anggota keluarga. Keluarga yang tidak utuh secara struktural maupun fungsianal kurang member dukungan yang positif terhadap perkembangan belajar. Ketidak utuhan dalam keluarga menimbulkan kurang seimbang dalam pelaksanaan tugas-tugas keluarga maupun dalam memikul beban sosial psikologis keluarga. Hal ini menimbulkan siswa kurang konsentrasi dalam belajar
2)       Lingkungan sekolah
Lingkungan ini juga memegang perana penting dalam pengembangan belajar siswa. Lingkungan ini meliputi lingkungan fisik sekolah, seperti lingkungan kampus, sarana dan peasarana belajar yang ada, sumber-sumber belajar, media belajar dan sebagainya. Lingkungan sosial yang menyangkut hubungan siswa dengan teman-temannya, guru-gurunya serta staf sekolah yang lain. Lingkungan sekolah juga menyangkut lingkungan akademis yaitu suasana dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dal sebagainya.
Sekolah yang kaya dengan aktifitas belajar memiliki sarana dan prasarana yang memadai, terkelola dengan baik diliputi akan sangat mendorong semangat siswa belajar. Dan para guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang simpati dan memperlihatka suri teladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar, seperti rajin membaca dan diskusi. Dapat menjadi daya dorong yang positif bagi siswa.
3)       Lingkungan masyarakat
Lingkungan masyarakat dimana siswa atau individu berada juga berpengaruh terhadap semangat dan aktifitas belajarnya. Lingkungan masyarakat diamana masyarakatnya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, terdapat lembaga-lembaga pendidikan dan sumber-sumber belajar didalamnya akan memberi pengaruh yang positif terhadap semangat dan perkembangan belajar generasi mudanya.[20]
4)       Guru dan cara mengajar
Terutama dalam belajar disekolah, faktor guru dan cara mengajarnya merupakan faktor yang penting pula. Bagaimana sikap dan kepribadian guru, tinggi rendahnya pengetahuan yang dimiliki guru dan bagaimana cara guru intu mengajarkan kepada anak-anak didiknya, turut menentukan bagaimana hasil belajar yang dapat dicapai anak.
5)       Motivasi sosial
Karena belajar itu adalah suatu proses yang timbul dari dalam, maka faktor motivasi memega perana pula.jika guru atau orang tua dapat memberikan motovasi yang baik pada anak-anak, timbulah pada diri anak itu dorongan dan hasrat untuk belajar lebih baik. Anak dapat menyadari apa gunanya belajar dan apa tujuan yang henak dicapai dengan pelajaran itu, jika diberi perangsang atau motivasi yang baik dan sesuai. Motivasi sosial juga dapat timbul pada anak dari orang lain disekitarnya, seperti dari tetangga, saudara yang dekat dengan anak tersebut dan dari teman sekolah atau sepermainannya. Pada umumnya motivasi seperti ini diterima anak tidak dari sengaja dan mungkin pula tidak dengan sadar.[21]

b.      Lingkungan nonsosial
Kelompok faktor ini boleh dikatakan juga tak terbilang jumlahnya, seperti: keadaan udara, suhu udara, cuaca, waktu (pagi siang atau malam), tempat (gedung sekolah/ rumah dan letaknya), alat-alat yang dipergunakan belajar (alat tulis menulis, buku, peraga dll).
Faktor-faktor tersebut diatau sedemikian rupa, sehingga dapat membantu (menguntungkan) proses belajar secara maksimal. Misalnya, letak sekolah atau tempat belajar harus memenuhi syarat tidak terlalu dekat denga kebisingan, bangunan harus memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam ilmu kesehatan sekolah, demikian alat pembelajaran diusahakan terpenuhi.[22] Contohnya, kondisi rumah yang sempit dan berantakan serta perkampungan yang terlalu padat dan tak memiliki sarana umum untuk kegiatan remaja  (seperti lapangan basket) akan mendorong siswa untuk berkeliaran ketempat-tempat yang tak pantas dikunjungi. Kondisi rumah dan perkampungan seperti itu jelas berdampak buruk terhadap kegiatan belajar siswa.
Faktor ini meyangkut beberapa aspek, yaitu:
1)   Alat-alat pelajaran
Faktor guru dan cara mengajarnya, tidak dapat dilepaskan dari ada tidaknya dan cukup tidaknya alat-alat pelajaran yang tersedia disekolah. Sekolah yang cukup memiliki alat-alat dan perlengakap yang diperlukan untuk belajar ditambah dengan cara mengajar yang baik dari guru-gurunya, kecakapan guru dalam menggunakan alat-alat itu akan mempermudan dan mempercepat belajar anak-anak.
2)       Lingkungan dan kesempatan
Seorang anak dari keluarga yang baik, memiliki intelijensi yang baik, bersekolah di suatu sekolah yang keadaannya baik dan keadaan guru-gurunya baik, belum tentu pula dapat belajar dengan baik. Masih ada faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajarnya. Umpamanya karena jarak antara rumah dan sekolah itu terlalu jauh, memerlukan kendaraan yang cukup lama sehingga melelahkan. Banyak pula anak-anak yang tidak dapat belajar dengan hasil baik dan tidak dapat mempertinggi belajarnya, akibat tidak adanya kesempatan yang disebabkan oleh sibuknya pekerjaan tiap hari, pengaruh lingkungan yang buruk dan negative serta faktor-faktor ain terjadi di luar kemampuannya. Faktor lingkungan dan kesempatan ini lebih-lebih berlaku bagi cara belajar pada orang-orang dewasa.[23]
3)       Ulangan
Dalam belajar perlu adanya ulangan, hal ini dapat menunjukkan pada orang yang belajar kemajuan-kemajuan kelemahan-kelemahanya. Dengan demikian orang yang belajar akan menambahkan usahanya dalam belajar. Penting diperhatikan tentang member tahukan hasil ulangan, supaya anak tahu hasilnya. Dan perlu pula membicarakan kesalahan-kesalahan yang diperbuat, supaya kesalahan baru tudak diperbuat lagi.[24]
4)       Waktu belajar
Khusus mengenai waktu yang disenangi untuk belajar (study time preference) seperti pagi atau sore, seorang ahli bernama J. Biggers berpendapat bahwa belajar pada waktu pagi hari lebih evekti dari pada waktu-waktu lainya. Namun menurut penelitihan beberapa ahli learning style (gaya belaja), hasil belajar itu tidak bergantung pada waktu secara mutlak, tetapi bergantung pada pilihan waktu yang cocok dengan kesipkesiagaan siswa (Dunn et al). diantara siswa ada yang siap belajar dipagi hari, ada pula yang siap pada sore hari, bahkan tenga malam.  Perbedaan antara waktu dan kesiapan inilah yang menimbulkan perbedaan study time preference antara seorang siswa dengan siswa lainya.
Akan tetapi, menurut hasil penelitian mengenai kinerja baca (reading performance) sekelompok mahasiswa disebuah unuversitas di Australia Selatan, tidak ada perbedaan yang berarti antara hasil belajar pada pagi hari dan hasil membaca pada sore hari. Selain itu keeratan korelasi antara study time preference dengan hasil membacapun sulit dibuktikan. Bahkan mereka yang lebih senang belajar dipagi hari dan di tes pada sore hari, ternyata hasilnya tetap baik. Sebaliknya, ada pula diantara mereka yang lebih suka belajar disore hari dan diter pada saat yang sama namun hasilnya tidak memuaskan.[25]
Dengan demikian, waktu yang digunakan siswa untuk belajar yang selama ini sering dipercaya berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa, tak perlu dihiraukan. Sebab, bukan waktu yang penting dalam belajar melainkan kesiapan system kesiapan memori siswa  dalam menyerap, mengelola, dan menyimpan item-item informasi dan pengetahuan yang diperlukan siswa tersebut.



  [1] Noehi Nasution, Materi Pokok Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1993) hal.6
[2] Drs. Abdul Hadis, Psikologi dalam Pendidikan, (Bandung: Alfabeta,2006) hal.63-64
[3] Drs. Syaiful bahri djamarah, Psikologi Belajar,  (Jakarta: Rineka Cipta, 2002) hal. 155
[4] Drs. Abdul Hadis, Psikologi dalam Pendidikan,  (Bandung: Alfabeta, 2006) hal. 64
[5] Drs. Syaiful bahri djamarah, Psikologi Belajar,  (Jakarta: Rineka Citpa, 2002) hal.157
[6] Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991) hal.182
[7] M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997) hal. 56
[8] Noehi Nasution, Materi Pokok Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1993) hal. 7
[9] Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: rineka Cipta, 1991) hal.183
[10]  Drs. Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar,  (Jakarta: Rineka Cipta, 2002) hal. 159
[11] A.A.A. Raden Cahaya Prabu, Perkembangan Taraf Intelijensi Anak, (Bandung: Angkasa, 1986) hal.45
[12] A.A. Anwar Prabu  Mangkunegara, Perkembangan Intelijensi Anak dan Pengukuran IQ-nya ,(Bandung: Angkasa, 1993) hal.43
[13] H. Sunarto dan Hartono Agung B, Perkembangan Peserta didik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999) hal. 119-121
[14] Noehi Nasution, Materi Pokok Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1993) hal.8
[15] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995) hal.61
[16] Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991) hal.136
[17] Drs. Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar,  (Jakarta: Rineka Cipta, 2002) hal.167-171
[18] Drs. Abdul Hadis, Psikologi dalam Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2006) hal. 64-65
[19] B.A, Drs. M.A, Ed.S Ph.D (Sumadi Suryabrata). Psikologi Pendidikan. (Bandung: Rajawali, 1987) hal. 250
[20] Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata.. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. (Bandung: Remaja Posdakarya, 2005)  hal. 164-165
[21] Drs. M. Ngalim Purwanto. Psikologi Pendidikan. (Bandung: Remaja Karya, 1988) hal.108-110
[22] B.A, Drs. M.A, Ed.S Ph.D (Sumadi Suryabrata). Psikologi Pendidikan. (Bandung: Rajawali, 1987) hal. 251
[23] Drs. M. Ngalim Purwanto.. Psikologi Pendidikan. (Bandung: Remaja Karya, 1988) hal.109-110
[24] Drs. Mustaqim, Drs. Abdul Wahib. Psikologi Pendidikan. (Jakarta: Rineka Cipta, 1997)  hal. 67
[25] Muhibbin Syah, M.Ed. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006)
hal. 138

Tidak ada komentar:

Posting Komentar