Jumat, 20 Mei 2011

Fiqh Qishass

BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Definisi Qiyas
Secara etimologis, kata qiyas berarti قدر artinya mengukur, membanding sesuatu dengan yang semisalnya. Kalau seseorang yang berbahasa Arab mengatakan قست الثوب بالدرع yang berarti "saya mengukur baju itu dengan hasta".
Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda, tetapi mengandung pengertian yang sama. Diantaranya dikemukakan Sadr al-Syari'ah (w. 747 H/1346 M, tokoh ushul fiqh Hanafi). Menurutnya qiyas adalah:

تَعَدِّيَة’ أْلحُكْمِ مِنَ الأَصْلِِِِ إِلَى اْللفَرْعِ لِعِلَةٍ مُتَّحِدَةٍ لاَتُدْرَكَ بِمُجَرَدِ اللُّغَةِ
Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu' disebabkan kesatuan 'illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.
Maksudnya, 'illat yang ada pada satu nash sama dengan 'illat yang ada pada kasus yang dihadapi seorang mujtahid. Karena kesatuan 'illat ini, maka hukum dari kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
Mayoritas ulama' Syafi'iyah mendefinikan qiyas dengan:

حَمْلُ غَيْرِ مَعْلُومٍ عَلَى مَعْلُومٍ فِي إِثْبَاتِ اْلحُكْمِ لَهُمَ أَوْ نَفْيِهِ عَنْهُما بِأَمْرٍ جامِعٍ بينَهُما مِنْ حُكْمٍ أو صِفَةٍ
Membawa (hukum) yang (belum) diketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat.
Saifuddin al-Amidi mendefinisikan qiyas dengan:

عِبَارةٌ عَنِ الإِسْتِوَاءِ بَينَ الْفَرْعِ ولأَصْلِ في الْعِلَّةِ الْمُسْتَنْبِطَةِ مِنْ حُكْمِ الأَصْلِ
Mempersamakan 'illat yang ada pada furu' dengan 'illat yang ada pada asal yang diistinbatkan dari hukum asal.
Setelah menganalisis berapa definisi qiyas yang dikemukakan para ulama ushul fiqh klasik tersebut, Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan:

إِلْحَقُ أَمْرٍ غَيْرِ مَنْصُوصٍ عَلَى حُكْمِهِ الشَرْعِيِّ بِأَمْرٍ مَنْصُوْصٍ عَلَى حُكْمِهِ لاِشْتِرَاكِهِمَا في عِلَّةِ الْحُكْمِ
Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan 'illat hukum antara keduanya.
Sekalipun terdapat perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh klassik dan kontemporer di atas tentang qiyas, tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal (itsbat al hukm wa insya'uhu), melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-kasyf wa al-izhhar li-al hukm) yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini dilakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap 'illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila 'illat-nya sama dengan 'illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan nash tersebut.

II.2 Rukun-Rukun Qiyas
Para ulama ushul fiqh menetapkan bahwa rukun qiyas itu ada empat, yaitu ashl (wadah hukum yang ditetapkan melalui nash atau ijma'), far'u (kasus yang akan ditentukan hukumnya), 'illat (motivasi hukum) yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid pada ashl, hukum ashl (hukum yang telah ditentukan nash dan ijma'. Qiyas baru dianggap sah bilamana lengkap rukun-rukunnya.
1. Ashl ( الأصل), menurut para ahli ushul fiqh,merupakan objek yang telah ditetapkan hukumnya oleh alat al-Qur'an,`, hadits Rasulullah saw., atau ijma'. Misalnya, pengharaman wisky dengan meng- qiyas-kannya kepada khamr, maka ashl itu adalah khamr yang telah ditetapkana hukaumnya melalui nash. Menurut para ahli ushul fiqh – khususnya dari kalangan mutakallimin yang dikatakan al-ashl itu adalah nash yang menentukan hukum, karena nash inilah yang dijadikan patokan penentuan hukum furu'. Dalam kasus wisky yang di- qiyas-kan pada khamar,maka yang menjadi ashl menurut mereka adalah ayat 90-91 surat al-maidah.
Beberapa syarat ashal, seperti dikemukakan A. Hanafi M.A., adalah:
a. Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada pokok (ashal). Kalau sudah tidak ada, misalnya sudah dihapuskan (mansukh) di masa Rasulullah, maka tidak mungkin terdapat pemindahan hukum.
b. Hukum yang terdapat pada ashal itu hendaklah hukum syara’, bukan hukum akal atau hukum yang berhubungan dengan bahasa, karena pembicaraan kita adalah qiyas syara’.
c. Hukum ashal bukan merupakan hukum pengecualian seperti sahnya puasa seseorang yang lupa, meskipun makan dan minum. Mestinya puasa menjadi rusak, sebab sesuatu tidak akan tetap ada apabila berkumpul dengan hal-hal yang menafikkannya (meniadakannya). Tetapi puasanya tetap ada, karena ada hadits yang menerangkan bahwa:
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إذا نسي فأكل وشرب فليتم صومه فإنما أطعمه الله وسقاه (روه البخارى ومسلم )
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW. “Barangsiapa lupa, padahal ia sedang puasa, kemudian ia makan dan minum, hendaklah ia menyelesaikan puasanya. Hanya saja Allah yang memberinya makan dan minum.” (H.R Bukhari dan Muslim).
Berhubungan dengan hadits tersebut, demikian A. Hanafi menjelaskan, maka orang yang dipaksa tidak dapat di-qiyas-kan dengan orang lupa.
2. Far'u (الفرع ), adalah objek yang akan ditentukan hukumnya, yang tidak ada nash atau ijma' yang tegas dalam menentukan hukumnya, seperti wisky di dalam kasus di atas.
Beberapa syarat ashal, seperti dikemukakan A. Hanafi M.A., antara lain yang terpenting:
a. Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri. Ulama ushul fiqh menetapkan bahwa:”Apabila datang nash (penjelasan hukumnya dalam Al-Qur’an atau Sunnah), qiyas menjadi batal”. Artinya, jika cabang yang akan di-qiyas-kan itu telah ada ketegasan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka qiyas tidak lagi berfungsi dalam masalah tersebut.
b. ‘illat yang terdapat pada cabang terdapat sama dengan yang terdapat pada ashal.
c. Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.
3. 'illat (العلة ), adalah sifat yang menjadi motiv yang menentukan hukum, dalam kasus khamr di atas 'illat-nya adalah memabukkan.
Syarat-syarat illat:
a. Tiap-tiap ada illat ada hukum dan tidak ada ‘illat tidak ada hukum. Artinya illat selalu ada
b. Tidak boleh illat itu bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama, artinya tidak boleh kitab dan sunnah.
4. Hukm al asl (حكم الأصل), adalah hukum syara' yang ditentukan oleh nash atau ijma' yang akan diberlakukan kepada far'u, seperti keharaman, meminum khamr. Adapun hukum yang ditetapkan pada far'u pada dasarnya merupakan buah (hasil) dari qiyas dan karenanya tidak termasuk rukun.
Syarat-syarat hukum ashal, menurut Abu Zahrah, antara lain adalah:
a. Hukum ashal hendaknya berupa hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan, karena yang menjadi kajian ushul fiqh adalah hukum yang menyangkut asal perbuatan.
b. Hukum ashal hendaknya dapat ditelusuri ‘illat (motivasi) hukumnya. Misalhukum haramnya khamr dapat ditelusuri mengapa khamr itu diharamkan yaitu karena bisa merusak akal pikiran, bukan hukum-hukum yang tidak dapat diketahui ‘illat hukjum nya (ghairu ma’qul al ma’na), seperti masalah bilangan rakaat shalat.
c. Hukum ashal itu bukan merupakan kekhususan bagi Nabi Muhammad SAW. Misalnya kebolehan Rasulullah beristri lebih dari empat orang wanita sekaligus.
II.3 Operasional Qiyas
Operasional penggunaan qiyas dimulai dengan mengeluarkan hukum yang terdapat pada kasus yang memiliki nash. Cara ini memerlukan kerja nalar yang luar biasa dan tidak cukup hanya dengan pemahaman makna lafadz saja. Selanjutnya, mujtahid mencari dan meneliti ada tidaknya illat tersebut pada kasus yang tidak ada nasnya. Apabila ternyata ada illat itu, fiqh menggunakan ketentuan hukum pada kedua kasus itu berdasarkan keadaan illat. Dengan demikian, yang dicari mujtahid di sini adalah illat hukum yang terdapat pada nash (hukum pokok).
Selanjutnya, jika illat tersebut ternyata betul-betul terdapat pada kasus lain, yang tampak bagi mujtahid adalah bahwa ketentuan hukum pada kasus-kasus itu adalah satu, yaitu ketentuan hukum yang terdapa pada nash (makhshus alaih) menjalar pada kasus-kasus lain yang tidak ada nasnya.

Contoh:
Asal Furu’/ cabang Illat Hukum
Khamar
Gandum Wisyky
Padi Memabukkan
Mengenyangkan Haram
Wajib

Keterangan:
Asal : titik tolak dimana suatu masalah itu dapat disamakan (musyabbah dih)/ apa yang terdapat nash dalam hukumnya.
Furu’ : suatu masalah yang akan dikiaskan disamakan dengan asal tadi disebut musyabbah/ apa yang tidak terdapat nash dalam hukumnya.
Illat : suatu sebab yang menjadikan adanya hukum sesuatu dengan persamaan sebab inilah baru dapat diqiaskan masalah kedua (furu’) kepada masalah yang pertama (asal) karena adanya suatu sebab yang dapat dikompromikan antara asal dengan furu’.
Hukum : yaitu ketentuan yang ditetapkan pada furuk bila sudah ada ketetapan hukumnya pada asal, disebut buahnya.
Apabila ada nash menunjukkan hukum pada suatu peristiwa, dan diketahui sebab hukum ini dari salah satu jalan dari jalan-jalan yang kita lalui hal-hal yang menerangkan sebab-sebab hukum itu.sudah itu terdapat peristiwa lain yang sama sengan peristiwa yang ada nashnya pada suatu sebab yang menentukan sebab hukum, karena dia sama dengan peristiwa yang ada nashnya dalam hukumnya itu.dibina diatas persamaan pasa sebabnya. Karena hukum itu terdapat pada dimana terdapat sebabnya. Di sini dikemukakan Contoh-contoh kias syar’i dan hukum Negara.
Pertama minum khamar itu hukumnya telah ditetapkan oleh nash yaitu haram. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an yang berbunyi sebagai berikut:
               
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (QS. Al Maidah/5:90)

Sebabnya ialah karena memabukkan. Tiap-tiap air buah yang didalamnya terdapat sebab yang sama dengan khamar dari segi hukumnya maka diharamkan meminumnya.
Kedua peristiwa ahli waris membunuh yang mewariskan sesuatu itu oleh nash ditetapkan hukumnya. Di sini ahli waris yang dilarang membunuh. Hal ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi:
لا ير ث القا تل
Tidak ada warisan bagi orang yang membunuh itu.
Dalam hal ini yang menjadi sebab ialah membunuhnya, supaya cepat menerima sesuatu sebelum waktunya. Kesengajaan itu dikembalikan kepadanya . saksi hukumannya di sini ialah dengan menharamkannya. Membunuh orang yang berwasiat oleh yang menerima wasiat , dikiaskan kepada orang yang membunuh si pewaris oleh yang akan menerima warisan itu. Larangan orang yang membunuh orang yang meninggalkan wasiat.
Ketiga jual beli yang dilakukan pada waktu terdengan adzan untuk sembayang jum’at. Sangsi hukuman terhadap peristiwa ini telah ditetapkan oleh nash, yaitu makruh. Hal ini didasarkan firman Allah yang berbunyi:
                      
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui (QS. 62:9).
Yang menjadi sebab disini adalah kesibukan dalam hal sembayang. Maka hukumnya dikiaskan dengan jual beli, yaitu makruh di waktu adzan sembayang jum’at.
Dalam contoh-contoh yang dikemukakan ini ada persamaan-persamaan peristiwa yang terjadi, tidak ada nasnya dengan peristiwa yang ada nash hukumnya. Dibina atas persamaan dalam segi sebab adanya hukum ini. Persamaan antara dua peristiwa dalam hukum. Dibina di atas persamaan ini adalah kias sebab sebab yaitu kias dalam istilah ushul. Dengan kata-kata lain disamakan peristiwa dengan peristiwa atau menyusul kejadian dengan kejadian atau persangkaan hukum dari suatu peristiwa kepada peristiwa yang satu lagi. Yaitu mengambil pedoman dari murodif yang didalilkan itu hanya satu.





II.4 Kehujjahan Qiyas
Terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’, terdapat perbedaan pendapat ulama ushul fiqh. Jumhur ulama ushul fiqh berpendapat bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau sarana untuk mengistinbatkan hukum syara’. Bahkan lebih dari itu, Syari’ menuntut pengamalan qiyas.
Dalam pandangan jumhur ulama, qiyas adalah hujjah syara’ atas hukum-hukum sebangsa perbuatan dan sebagai hujjah syara’ yang keempat. Artinya, apabila hukum suatu peristiwa (kedua) itu tidak ditemukan nash atau ijma’, sudah pasti memiliki kesamaan ‘illat dengan peristiwa (pertama) yang ada nash hukumnya, maka peristiwa kedua diqiyaskan dengan masalah pertama dan dihukumi sama dengan hukum pada masalah pertama. Hukum itu menjadi ketetapan syara’ yang wajib diikuti dan diamalkan oleh mukallaf. Sedangkan dalam kelompok Nidzamiyah, Dzahiriyah dan sebagian golongan syiah, qiyas bukan hujjah syara’ atas hukum dan mereka itu disebut orang-orang yang menolak qiyas.
Banyak sekali alasan-alasan (argumentasi) yang dikemukakan oleh para ulama, baik yang menetapkan qiyas sebagai hujjah maupun yang menolaknya. Berikut ini akan dijelaskan beberapa alasan ulama yang menetapkan dan yang menolak qiyas sebagai hujjah.
1. Alasan ulama yang menetapkan qiyas sebagai hujjah
Jumhur ulama ushul fiqh yang membolehkan qiyas sebagai salah satu metode dalam menetapkan hukun syara’ mengemukakan beberapa alasan, baik dari ayat-ayat al-Qur’an, Sunnah Rasul, maupun dari ijma’ dan logika.
a. Ayat-ayat al-Qur’an yang digunakan sebagai dalil dalam menjadikan qiyas sebagai hujjah, diantaranya:
1). Firman Allah SWT dalam AL-Qur’an surat an-Nisa’:
                              
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. an-Nisa: 59)
Alasan pengambilan dalil dari ayat ini, karena Allah SWT telah memerintahkan kepada kaum mukminin untuk mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan dan dipertentangkan di antara mereka kepada Allah dan Rasul jika mereka tidak mendapatkan hukumnya dalam al-Qur’an, as-Sunnah maupun ketetapan ulil amri. Sedangkan mengembalikan dan merujukkan permasalahan kepada Allah dan kepada Rasul mencakup semua cara yang dapat disebut mengembalikkan atau merujukkan. Akhirnya tidak dapat dipungkiri bahwa menyamakan peristiwa yang tidak memiliki nash dengan peristiwa yang memiliki nash karena kesamaan illat hukumnya adalah termasuk mengembalikan permasalahan kepada Allah dan Rasul-Nya, karena mengikuti hukum yang ditetapkan Allah dan Rasulullah.
2). Firman Allah dalam surat al-Hasyr
...   

Artinya:
Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (Q.S. al-Hasyr: 2)
Ayat ini, menurut jumhur ulama ushul fiqh, berbicara tentang hukuman Allah terhadap kaum kafir dari Bani Nadhir disebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah SAW. Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai i’tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari satu peristiwa, menurut jumhur ulama termasuk qiyas. Oleh sebab itu, penetapan hukum melalui qiyas yang disebut Allah dengan al-i’tibar adalah boleh, bahkan al-Qur’an memerintahkannya.
3). Ayat-ayat lain yang dijadikan alasan qiyas adalah seluruh ayat yang mengandung ‘illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut. Misalnya:
   
Artinya:
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, ...” (Q.S. al-Baqarah: 179)
           
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh ...” (Q.S. al-Baqarah: 222)
                     
Artinya:
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Q.S. al-Maidah: 91)
Dalam ayat-ayat tersebut, menurut jumhur ulama, secara nyata menyebutkan ‘illat yang menjadi penyebab munculnya hukum. Inilah makna qiyas, yaitu ketika muncul suatu kasus yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, maka diwajibkan mencari ‘illat kasus tersebut untuk membandingkannya dengan ‘illat hukum yang ada dalam nash, dan apabila ternyata ‘illatnya sama, maka hukum yang ada dalam nash itu bias diterapkan pada kasus tersebut.
Para ulama yang membolehkan qiyas sebagai hujjah dalam menetapkan hukum syara’, bukan berarti membuat hukum baru yang ditetapkan berdasarkan qiyas itu, tetapi menyingkap ‘illat yang terdapat dalam nash. Atas dasar kesamaan ‘illat ini, hukum kasus yang dihadapi tersebut disamakan dengan hukum yang telah ditentukan oleh nash.
b. Hadits Rasulullah SAW diantara:
1). Hadits riwayat Mu’az bin Jabal, ketika Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadhi (hakim). Rasulullah SAW melakukan dialog singkat dengan Mu’az, seraya bersabda, yang artinya:
“Bagaimana cara kamu memutuskan suatu perkara yang diajukan kepada engkau?” Mu’az menjawab, “Saya akan cari hukumnya dalam Kitabullah (al-Qur’an).” Kemudian Rasulullah melanjutkan pertanyaannya, “Jika tidak kamu temukan hukumnya dalam Kitabullah?” Jawab Mu’az, “ Saya akan cari dalam sunnah Rasulullah.” Selanjutnya Rasulullah bertanya, “Jika dalam Sunnah RAsulullah juga tidak engkau temukan hukumnya?” Jawab Mu’az, “Saya akan berijtihad sesuai dengan pendapat saya.” Lalu Rasulullah mengusap dada Mu’az, seraya berkata, “Alhamdulillah tindakan utusan Rasulullah telah sesuai kehendak Rasulullah.” (H.R. Ahmad ibn Hanbal, Abu Daud, al-Tirmidzi, al-Thabrani, al-Darimi dan al-Baihaqi)
Dalam hadits ini, menurut jumhur ulama ushul fiqh, Rasulullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui akal.
Dalam hadits lain Rasulullah juga menggunakan metode qiyas dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu ketika, seseorang menemui Rasulullah, dan ia berkata:
“Ayah saya telah masuk Islam, dia seorang yang sudah sangat tua sehingga tidak mampu untuk mengendarai (unta) guna melakukan perjalanan dalam upaya melaksanakan ibadah haji yang diwajibkan. Apakah saya boleh menghajikannya?” Rasulullah berkata, “Engaku anak laki-lakinya yang terbesar?” Jawab laki-laki itu, “Benar.” Kemudian Rasulullah berkata, “Bagaimana pendapat engkau, andaikata ayahmu itu mempunyai utang pada orang lain, lalu engkau akan membayarnya, apakah utang itu dianggap lunas?” Lelaki itu menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Jika demikian, maka hajikanlah ayahmu itu.” (H.R. al-Bukhari, Muslim dan an-Nasa’i dari Ibn ‘Abbas)
Jumhur ulama ushul fiqh menyatakan bahwa pada hadits tersebut secara jelas Rasullah menjawab permasalahan yang diajukan kepadanya dengan metode qiyas. Dalam masalah haji di atas, Rasululah SAW mengqiyaskan haji kepada kewajiban membayar hutang.
c. Pandapat dan perbuatan para sahabat, diantaranya:
Para sahabat membuktikan bahwa qiyas adalah hujjah syara’ dengan berijtihad mengenai masalah-masalah yang tidak memiliki nash hukum dan mengqiyaskan hukum yang tidak memiliki nash dengan hukum yang memiliki nash dengan cara membanding-bandingkan antara yang satu dengan yang lain. Mereka mengqiyaskan masalaha khalifah dengan imam shalat, membai’at Abu Bakar sebagai khalifah dan menjelaskan dasar-dasar qiyas dengan ungkapan: Rasulullah rela Abu Bakar menjadi imam agama kita, apakah kita tidak rela dia sebagai pemimpin dunia kita.
Dalam sebuah kisah yang amat popular, Umar bin Khattab menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari , ketika ia ditunjuk menjadi hakim di Bashrah (Irak). Dalam suratnya yang panjang itu, Umar menekankan agar dalam menghadapai berbagai persoalan yang tidak ditemukan hukumnya dalam nash, agar Abu Musa menggunanakan qiyas (kisah ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Ahmad ibn Hanbal, dan al-Daruquthni).
Dari sini dapat terlihat bahwa para sahabat juga menggunakan qiyas dalam permasalahan yang mereka hadapi, bahkan menyuruh sahabat lain untuk melakukannya.
d. Secara logika, menurut jumhur ulama ushul fiqh, bahwa hukum Allah mengandung kemashlahatan untuk umat manusia dan untuk itulah maka hukum disyari’atkan. Apabila seorang mujtahid menjumpai kemashlahatan yang menjadi ‘illat dalam suatu hukum yang ditentukan oleh nash dan terdapat juga dalam kasus yang sedang ia carikan hukumnya, maka ia menyamakan hukum kasus yang ia hadapi dengan hukum yang ada pada nash tersebut. Dasarnya adalah ada kesamaan ‘illat antara keduanya.
2. Alasan ulama yang menolak qiyas sebagai hujjah
Alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’, menurut kelompok yang menolaknya adalah:
a. Firman Allah dalam surat al-Hujurat (49): 1:
         
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya ...” (Q.S. al-Hujurat: 1)
Ayat ini menurut mereka, melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Mempedomani qiyas, merupakan sikap beramal dengan sesuatu di luar al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dan karenya dilarang. Selanjutnya dalam surat al-Isra’ (17): 36, Allah berfirman:
       
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (Q.S. al-Isra’: 36)
Ayat ini menurut mereka, melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti, dan qiyas tergolong ke dalam sesuatu yang tidak pasti. Oleh sebab itu, mengamalkan qiyas dilarang berdasarkan ayat ini.
Dalam ayat lain, surat Yunus (10): 36, Allah berfirman:
•       
Artinya:
“...Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran...” (Q.S. Yunus: 36)
Menurut mereka, qiyas itu bersifat zhanni (persangkaan), dan karenanya tidak berguna untuk menetapkan hukum.
b. Alasan-alasan mereka dari Sunnah Rasulullah SAW anatara lain adalah sebuah riwayat yang mengatakan:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan; menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar; Dia haramkan sesuatu, maka jangan langgar larangan itu; Dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu.” (H.R. al-Daruquthni)
Hadits ini, menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu adakalanya wajib, adakalanya haram, dan adakalnya didiamkan saja, yang berarti hukumnya berkisar antara diamaafkan dan mubah (boleh). Apabila diqiyaskan sesuatu yang didiamkan syara’ kepada wajib misalnya, maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dimaafkan atau dibolehkan.
c. Ungkapan yang mereka terima dari sebagian sahabat yang mencela pendapat pribadi dan penetapan hukum dengan pendapat pribadi. Seperti pendapat Umar:
“Jauhkanlah dirimu dari orang-orang yang memiliki pendapat pribadi (dalam hukum), karena mereka adalah musuh al-Sunnah. Mereka kepayahan (tidak mampu) menghafalkan hadits-hadits, sehingga mereka melontarkan pendapat pribadinya, maka mereka itu sesat lagi menyesatkan.”
Pendapat sahabat tersebut, di samping tidak dapat dipercaya, juga yang dimaksud bukanlah menolak qiyas atau menjadikannya sebagai hujjah. Tapi yang dimaksud adalah larangan mengikuti hawa nafsu dan pendapat hukum yang tidak memiliki rujukan nash sama sekali.

psikologi pendidikan (Tantangan di abad 21)

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tantangan-tantangan Dalam Abad 21 Secara Umum dan Implikasinya Dalam Dunia Pendidikan
2.1.1 TANTANGAN-TANTANGAN DALAM ABAD 21
Jacques Delors selaku Ketua Komisis Internasional tentang Pendidikan untuk abad 21 dari Persekutuan Bangsa-Bangsa, dalam raporannya: “learning: the teasure within”(1996), mengemukakan tujuh macam ketegangan yang akan terjadi serta menjadi ciri dan tantangan pendidikan abad 21, sebagai berikut:
1. Ketegangan antara global dengan lokal: orang secara berangsur-angsur perlu menjadi warga Negara dunia tanpa tercabutnya akar-akar budaya mereka dan karenanya turut serta berperan aktif sebagai bagian dalam kehidupan mereka berbangsa dan bermasyarakat di tempat mereka tinggal.
2. Ketegangan antara universal dengan individual: kebudayaan pasti menjadi bersifat globl, tetapi hanya besifaat sebagian-sebagian. Kita tidak dapat mengabaikan harapan-harapan yang dijanjikan oleh proses globalisasi dan juga resiki-resikonya, serta tak sedikitpun melupaan sifat unik manusia sebagai individu; dengan demikian resiko mereka, harus memilih masa depan mereka sendiri dan berhasil mencapai sepenuhnya kamampuan mereka dalam khazanah kekayaan tradisi-tradisi budaya mereka yang terawat dengan baik dan budaya mereka sendiri dapat terancam oleh perkembangan mutakhir apabila tidak mereka sendiri yang merawatnya.
3. Ketegangan antara tradisi dngan kemuderenan: yang merupakan bagian dari masalah yang sama: bagaimana tradisi dapat menyesuaikan diri pada perubahan tanpa hrus kembali kemasa lampau, bagaimana otonomi atau kemanirian dapat dicapai seiring dengan perkembangan kebebasan orang lain, dan bagaimana kemajuan ilmiah dapat diterima dalam masyarakat? Hal ini merupakan semangat yang diperlukan untuk menghindari tantangan-tantangan yang datang dari teknologi-teknologi informasi yang baru.
4. Ketegangan antara pertumbuhan-pertumbuhan jangka panjang dengan jangka pendek: Hal ini selalu ada, tetapi dewasa ini hal tersebut didukung oleh keperkasaan dari kesementaraan dan kesesaatan, dalam sebuah dunia yang sangat dilimpahi oleh informasi yang singgah sebentar dan emosi-emosi terus-menerus tertuju pada masalah-masalah yang memerlukan oemecahan segera. Pendapat umum meneriakkan perlunya jawaban-jawaban dan pemecahan masalah yang segera, padahal banyak masalah memerlukan strategi perbaikan keadaan yang harus dilaksanakan dengan sabar terencana, bermusywarah. Strategi tersebut adalah sangat tepat digunakan dalam kasus dengan penentuan kebijaksanaan pendidikan.
5. Ketegangan antara perlunya kompetisi dengan kesaan kesempatan: Hal ini merupakan masalah klasik, yang telah dihadapi baik oleh para pengambil keputusan dalam bidang ekonomi dan sosial maupun para pengambil keputusan dalam bidang pendidikan sejak awal abad 20. Pemecahan masala tersebut kadang-kadang telah diusulkan, tetapi tidak pernah tahan uji dalam waktu. Sekarang ini, komisi berani menyatakan bahwa tekanan yang datang dari kempetisilah yang menyebabkan banyak dari para pengambil keputusan berada dalam posisi kewenangan yang kehilangan misinya, sehingga menyebabkan setiap orang menjadi alat untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari setiap kesempatan yang ada. Dalam rangka laporan ini, hal tersebut mendorong kita untuk meninjau kembali dan memperbaiki konsep-konsep tentang pendidikan seumur hidup yang tertuju pada pemanduan tiga macam tenaga, yaitu: kompetisi, yang memberikan kepada kita dorongan-dorongan; koerasi, yang memberi kita kepada kita kekuatan; dan solidaritas, yang memberi kepada kita persatuan.
6. Ketegangan antara perluasan pengetahuan yang berlimpah ruah dengan kemampuan manusia untuk mencerrnakannya: Komisi tidak dapat menentang terhadap golongan yang berkeinginan untuk menambah mata pelajaran baru, seperti pengetahuan tentang diri sendiri, cara-cara mencapai keseimbangan fisik dan psikologis atau cara-cara memahami perbaikan lingkungan alam dan melestarikannya secara lebih baik. Oleh karena hal ini telah menambah tekanan terhadap kurikula, maka setiap strategi perbaikan yang dirumuskan dengan jelas harus berkenaan dengan penentuan pilihan-pilihan yang selalu mengutamakan pada hal-hal yang pokok dari suatu pendidikan dasar yang yang mengajarkan murid bagaimana membenahi hidup mereka melalui penguasaan pengetahuan, melalui eksperimen dan melalui pengembangan budaya-budaya merka sendiri harus dijamin.
7. Akhirnya, factor abadi lainnya adalah ketegangan antara spiritual dengan material: sering tanpa menyadari, dunia mempunyai suatu keinginan yang sering tidak teerungkapkan, yang berupa suatu cita-cita dan nilai-nilai yang akan kita sebut “moral”. Adalah tugas mulia pendidikan untuk mendorong setiap orang bertindak berdasarkan tradisi-tradisi dan pendirian-pendirian mereka membarikan penghargaan penuh terhadap pluralism, untuk meningkatkan pikiran dan spirit mereka mencapai tingkat universal dan berdasrkan ukuran tertentu, mentransendenkan diri mereka. Tidaklah berlebih-lebihan apabila komisi menyatkan bahwa kelangsungan hidup manusia tergantung pada bagaimana tugas mulia pendidikan diupayakan. (Delors, 1996: 17-18).

2.1.2 IMPLIKASI BAGI PENDIDIKAN INDONESIA
1. Landassn Futuralistik
Indonesia sebagai anggota perserikatan bangsa-bangsa sudah sepantasnya apabila hasil komis internasional tentang pendidikan untuk abad 21 menjadi bahan kajian utama dalam rangka pembangunan pendidikan Indonesia memasuki abad 21. Dengan demikian hasil-hasil komisi tersebut merupakan salah satu landasan futuralistik pendidikan Indonesia dalam menyonsong abad 21.
2. Tujuan Pengkajian
Menangkap situasi internasional yang diperkirakan akan terjadi dalam abad 21; mengkaji visi, perinsip-perinsip, dan perkembangan pendidikan untuk menilainya secara cermatdan mengadopsinya hal-hal yang dapat dilaksanakan dalam pembangunan pendidikan nasional Indonesia, yang sesuai dengan cita-cita dan kondisi nasional Indonesia.
3. Bentuk dan Sifat Pengkajian
a. Pengkajian merupakan pengkajian kebijaksanaan pendidikan.
b. Pengkajian bersifat menemuka alternatif-alternatif untuk meningkatkan impelementasi pendidikan nasional yang berstandar internasional, dan menguatkan usaha-usaha hubungan internasional dalam bidang pendidikan yang saling menguntungkan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan.
c. Pengkajian merupakan upaya pemanduan antara cita-cita internasional atau global dengan cita-cita dan kondisi nasional dalam bidang pendidikan. Dalam demikian pembangunan pendidikan Indonesia diharapkan dapat memasuki globalisasi yang diperkirakan akan terjadi dalam abad 21.

2.2 TANTANGAN GURU DALAM DUNIA PENDIDIKAN DAN GAMBARAN PENDIDIKAN DALAM ABAD 21
2.2.1 Tantangan Guru dalam dunia pendidikan
Diakui atau tidak diakui dalam dunia pendidikan paradigma yang dianut sekarang adalah konstruktivisme. Jika dahulu pengetahuan siswa bersumber dari guru, dan siswa dianggap sebagai gelas kosong yang siap diisi. Maka dengan paradigma konstruktivisme, siswa harus dianggap memiliki pengetahuan awal, dan tugas guru hanya mengkonstruksinya. Siswa pun diibaratkan tanaman yang sudah punya potensi untuk tumbuh dan berkembang, sedangkan guru hanya berfungsi sebagai penyiram yang membantu tanaman (siswa) tumbuh dan berkembang dengan baik. Akibatnya, peran guru berubah dari pengajar menjadi fasilitator dengan model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student center), tidak lagi berpusat pada guru (teacher center). Proses belajar mengajar (PBM) bersifat memandirikan siswa dalam mengeksplorasi rasa keingintahuannya dan memecahkan masalah yang diberikan guru.
Proses globalisasi merupakan kaharusan sejarah yang tidak mungkin dihindari, dengan segala berkah dan mudhorotnya. Bangsa dan Negara akan dapat memasuki era globalisasi dengan tegar apabila memiliki pendidikan yang berkualitas. Kualitas pendidikan, terutama ditentukan oleh proses belajar mengajar yang berlangsung di ruang-ruang kelas. Dalam proses belajar mengajar tersebut guru memegang peran yang penting. Guru adalah kreator proses belajar mengajar. Ia adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreatifitasnya dalam batas-batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten. Sekaligus guru akan berperan sebagai model bagi anak didik. Kebesara jiwa, wawasan dan pengetahuan guru atas perkembangan masyarakatnya akan mengantarkan para siswa untuk dapat berpikir melewati batas-batas kekinian, berpikir untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.
Tugas utama guru adalah mengembangkan potensi siswa secara maksimal lewat penyajian mata pelajaran. Setiap mata pelajaran, dibalik materi yang dapat disajikan secara jelas, memiliki nilai dan karakteristik tertentu yang mendasari materi itu sendiri. Oleh karena itu, pada hakekatnya setiap guru dalam menyampaikan setiap mata pelajaran harus menyadari sepenuhnya bahwa seiring menyampaikan materi pelajaran, ia harus pula mengembangkan watak dan sifat yang mendasari dalam mata pelajaran itu sendiri.
Materi pelajaran dan aplikasi nilai-nilai terkandung dalam mata pelajaran tersebut senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Agar guru seanantiasa dapat menyesuaikan dan mengarahkan perkembangan, maka guru harus memperbaharui dan meningkatkan ilmu pengetahuan yang dipelajari secara terus menerus. Dengan kata lain, diperlukannya adanya pembinaan yang sistematis dan terencana bagi para guru.
Memasuki abad 21 pendidikan akan mengalami pergeseran perubahan paradigma yang meliputi pergeseran paradigma: (1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, (5) dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buat teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama. Dengan memperhatikan pendapat ahli tersebut nampak bahwa pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif.
2.2.2 Gambaran Pembelajaran di Abad Pengetahuan (abad 21)
Sekolah memerlukan sumber belajar yang banyak. Tetapi sekolah dihadapkan pada kenyataan bahwa sumber belajar yang ada di perpustakaan sangat terbatas. Koleksi buku dan compact disk (CD) yang dimiliki sekolah pun acapkali sudah usang. Pembaharuan koleksi buku dan CD tentu memerlukan biaya yang sangat besar. ICT dapat dijadikan solusi bagi permasalahan ini.
Praktek pembelajaran yang terjadi sekarang ini masih didominasi oleh pola atau paradigma yang banyak dijumpai di abad industri. Pada abad pengetahuan (abad 21) paradigma yang digunakan jauh berbeda dengan pada abad industi. Pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri.
2.3 SOSOK GURU DI ABAD 21
Guru abad 21 harus menguasai banyak pengetahuan (akademik, pedagogik, sosial dan budaya), mampu berpikir kritis, tanggap terhadap setiap perubahan, dan mampu menyelesaikan masalah. Guru tidak boleh hanya datang ke sekolah melulu untuk mengajar saja. Kemampuan untuk mengelola kelas saja tidak cukup lagi. Guru diharapkan bisa menjadi pemimpin dan agen perubahan, yang mampu mempersiapkan anak didik untuk siap menghadapi tantangan global di luar sekolah. Selain orang tua peran guru dalam mengarahkan masa depan anak didiknya sangat signifikan. Bisa dibayangkan apa jadinya kalau guru tidak siap menghadapi semua tantangan dinamika pendidikan abad 21 ini, yang nota-bene masih terus akan berubah.
Dalam konteks guru profesional dengan semangat tinggi, ia akan selalu memiliki inisiatif, gigih, tidak putus asah dan tidak gampang menyerah. Sebaliknya, ia akan jarang mengeluh. Dan hatinya akan senantiasa berbunga kata “There are two kinds of days:good days and great days” atau hanya ada dua macam hari: hari baik dan hari sangat baik. Guru dalam dimensi kekinian digambarkan sebagai sosok manusia yang berakhlak mulia, arif, bijaksana, berkepribadian stabil, mantap, disiplin, santun, jujur, obyektif, bertanggung jawab, menarik, mantap, empatik, berwibawa, dan patut diteladani.
Dengan sosok kekiniannya, seorang guru harus manjadi manusia yang dinamis dan berfikir ke depan(futuristic) dengan tanda-tanda dimilikinya sifat informatif, modern, bersemangat, dan komitmen untuk pengembangan individu maupun bersama-sama. Dan yang tak kalah penting, guru diharuskan mampu menguasai IT, atau setidak-tidaknya mampu mengoperasionalkan. Guru diharapkan benar-benar mampu mengajak siswanya siap dalam menghadapi tantangan zaman. Sebagai guru profesional juga wajib tumbuh dalam dirinya jiwa semangat dan sebagai penyemangat. Untuk yang satu ini, hal mendasar yang harus dimiliki guru adalah kekayaan pengetahuan dan kompetensi materi yang akan diajarkan. Tanpa itu, mustahil guru akan dapat mengajar dengan baik, lugas dan lancar. Keminiman penguasaan materi dan wawasan pendukungnya akan mengurung guru pada keminderan dan bahkan merasa takut berhadapan dengan siswa.
Dalam Jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu; (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2) penguasaan ilmu yang kuat; (3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator.
Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.

DAFTAR RUJUKAN
Miarso, Yusufhadi. 2007. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Mudyahardjo, Redja. 2001. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Zamroni. 2001. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing
http://miftah19.wordpress.com/2009/05/16/sosok-guru-abad-21-sebuah-harapan-dan-kenyataan/

Sabtu, 16 April 2011

akhlak tawaddu'

BAB II
PEMBAHASAN

II. I. Pengertian Tawadhu’, Taat, Qana’ah, dan Sabar
Adapun yang disebut dengan akhlak terpuji adalah segala tingkah laku yang terpuji (mahmudah) yang dapat mendatangkan manfaat bagi orang lain dan dirinya sendiri serta bernilai pahala jika seseorang melaksanakannya tanpa pamrih dan merupakan tanda kesempurnaan iman seseorang kepada Allah swt.
Akhlak yang baik dilahirkan oleh sifat-sifat yang baik, seperti sikap tawadhu’, taat, qana’ah, dan sabar. Beberapa perilaku tersebut adalah hasil dari sifat-sifat baik yang dimiliki seseorang akibat dari pemahaman mereka terhadap hakikat dari akhlak terpuji.

II.I.I. Pengertian Tawadhu’
Tawadhu’ adalah kepasrahan menerima kebenaran dari siapapun datangnya, baik miskin ataupun kaya, mulia ataupun hina, lawan ataupun teman.
Tawadhu’ mempunyai dua arti. Pertama, pasrah terhadap kebenaran serta menerima kebenaran tersebut dari siapapun datangnya. Kedua, tawadhu’ adalah menundukkan pundak anda terhadap orang lain. Artinya menundukkan pundak ialah bergaul dengan orang lain secara lembut, siapapun mereka baik pelayan ataupun yang dilayani, orang mulia atau terhina
Merendahkan diri (tawadhu’) adalah sifat yang sangat terpuji di hadapan Allah dan juga di hadapan seluruh makhluk-Nya. Setiap orang mencintai sifat ini sebagaimana Allah dan Rasul-Nya mencintainya. Sifat terpuji ini mencakup dan mengandung banyak sifat terpuji lainnya.
Tawadhu’ adalah ketundukan kepada kebenaran dan menerimanya dari siapapun datangnya baik ketika suka atau dalam keadaan marah. Artinya, janganlah kamu memandang dirimu berada di atas semua orang. Atau engkau menganggap semua orang membutuhkan dirimu.
Lawan dari sifat tawadhu’ adalah takabbur (sombong), sifat yang sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya. Dalam Q.S. Luqman: 18-19
   ••  •   •  •    •           •     
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

Jika anda mengangkat kepala di hadapan kebenaran baik dalam rangka menolaknya, atau mengingkarinya berarti anda belum tawadhu’ dan anda memiliki benih sifat sombong.
Tahukah anda apa yang diperbuat Allah swt terhadap Iblis yang terkutuk? Dan apa yang diperbuat Allah kepada Fir’aun dan tentara-tentaranya? Kepada Qarun dengan semua anak buah dan hartanya? Dan kepada seluruh penentang para Rasul Allah? Mereka semua dibinasakan Allah swt karena tidak memiliki sikap tawadhu’ dan sebaliknya justru menyombongkan dirinya.

II.I.II. Pengertian Taat
Taat secara bahasa adalah senantiasa tunduk dan patuh, baik terhadap Allah, Rasul maupun Ulil Amri (pemimpin). Hal ini tertuang di dalam Q.S. An-Nisa’: 59
                              
“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.“

Berpedoman pada firman Allah swt diatas yang memerintahkan orang-orang yang beriman supaya selalu memurnikan ketaatan hanya kepada Allah, Rasul maupun Ulil Amri. Soal pemimpin yang bagaimana yang harus ditaati tersebut? Tentu pemimpin yang juga taat kepada Allah dan Rasulnya, lalu masih adakah pemimpin yang memiliki sifat seperti yang di uraikan diatas? Yang lebih mengutamakan kepentingan umum & rakyat diatas kepentingan pribadi dan keluarganya?
Taat pada Allah tidak hanya asal taat, di dalam pelaksanaan teknisnya harus benar dan sungguh-sungguh sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan dengan tanpa alasan apapun menghentikan segala larangan-Nya. Sebenarnya apa-apa yang menjadi perintah Allah swt sudah tidak diragukan lagi pasti tersimpan segala kemaslahatan (kebaikan), sedangkan apa-apa yang menjadi larangan-Nya sudah tertulis akan segala kemudharatanya (keburukan). Kemudharatan (bencana alam dimana-mana) yang sering terjadi akhir-akhir ini merupakan imbas dari tidak menghiraukan segala larangan Allah dan Rasul-Nya. Q.S Ali Imran: 32 memperjelasnya:
       •     
“Katakanlah, taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.“
Begitu juga ketaatan kepada Rasul, yaitu Rasulullah saw dengan selalu mengimplementasikan yang terdapat dalam hadits beliau. Sebagai utusan Allah, Nabi Muhammad saw mempunyai tugas menyampaikan amanah kepada umat manusia tanpa memandang status, jabatan, suku dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi setiap muslim yang taat kepada Allah swt harus melengkapinya dengan mentaati segala perintah Rasulullah saw sebagai utusan-Nya. Sebagaimana Firman Allah di dalam Q.S At-Taghabun: 12
            
“Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban rasul kami hanyalah menyampaikan (amanah Allah) dengan terang.“
Allah swt adalah adalah Sang Khalik, pencipta alam semesta beserta isinya ini. Rasulullah saw adalah utusan-Nya untuk seluruh umat manusia bahkan kelahiran dari beliau, alam semesta ini mendapat rahmat yang tidak ternilai harganya. Oleh karena itu, siapapun yang telah berikrar (bersyahadat) maka dengan sendirinya lahirlah suatu kewajiban dalam bentuk ketaatan kepada keduanya dalam situasi dan kondisi apapun. Namun, jenis ketaatan seperti yang disebutkan di atas akan lebih sempurna kalau diiringi dengan ketaatan dan kepatuhan kepada Ulil Amri atau pemimpin. Ketaatan tersebut dalam artian harus selalu taat dan mematuhi peraturan-peraturan yang telah ditelurkan secara bersama, tentu selama peraturan itu masih diatas nilai-nilai kemanusiaan dan tidak menyimpang dari aturan agama Islam. Ketaatan itu bukan hanya harus diimplementasikan pada pemimpin dalam artian luas saja, dalam artian sempit pun harus menjadi keseharian kita, seperti taat kepada orang-orang yang memiliki kuasa dan kedudukan yang lebih tinggi. Seorang anak harus taat dan patuh pada kedua orang tuanya, murid kepada gurunya, istri kepada suaminya dan sebagainya.
Ketatatan yang kita lakukan kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri merupakan ketaatan yang akan berakibat baik terhadap amal ibadah kita selama ketatan tersebut tidak diselimuti oleh berbagai bentuk kebohongan, penyakit hati, kemunafikan dan sebagainya. Islam justru sangat memuliakan umatnya yang memiliki sifat tawadhu’ dengan selalu merendahkan hati baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia. Kita sebagai muslim harus menyadari bertawadhu’ merupakan bagian dari Akhlakul Karimah yang melahirkan manusia-manusia yang berperilaku baikdengan memunculkan suatu kesadaran akan hakikat kejadian dirinya dan tidak pernah mempunyai alasan untuk merasa lebih baik, lebih pintar, lebih kaya, lebih tampan, lebih cantik maupun lebih-lebih lainnya antara dirinya dengan orang lain. Dalam Q.S. Al-Furqan: 63 dijelaskan:
            
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.”
II.I.III. Pengertian Qana’ah
Qana’ah, yaitu kemampuan diri dalam menerima dan mensyukuri, serta merasa cukup terhadap setiap anugerah dan nikmat Allah. Qana’ah juga berarti rela menerima apa adanya dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, serta menjauhkan diri dari sifat tidak puas dan merasa kurang yang berlebihan. Dalam Q.S. Al-Baqarah: 157
          
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.”

Qana’ah berfungsi sebagai stabilisator dan dinamisator hidup seorang muslim. Dikatakan stabilisator, karena seorang muslim yang mempunyai sifat Qana’ah akan selalu berlapang dada, berhati tenteram, merasa kaya dan berkecukupan, bebas dari keserakahan, karena pada hakikatnya kekayaan dan kemiskinan terletak pada hati bukan pada harta yang dimilikinya. Bila kita perhatikan banyak orang yang lahirnya nampak berkecukupan bahkan mewah, namun hatinya penuh diliputi keserakahan dan kesengsaraan, sebaliknya banyak orang yang sepintas lalu seperti kekurangan namun hidupnya tenang, penuh kegembiraan, bahkan masih sanggup mengeluarkan sebagian hartanya untuk kepentingan sosial. Nabi saw bersabda dalam salah satu haditsnya:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَيْسَ اْلغَنِيُّ عَنْ كَثْرَةِ اْلعَرْضِ وَلَكِنَّ اْلغِنَى غِنَى النَّفْسِ (متفق عليه)
"Dari Abu Hurairah r.a. bersabda Nabi saw: Bukanlah kekayaan itu banyak harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati". (H.R. Bukhari & Muslim(

Karena hatinya senantiasa merasa berkecukupan, maka orang yang mempunyai sifat Qana’ah, terhindar dari sifat loba dan tamak, yang cirinya antara lain suka meminta-minta kepada sesama manusia karena merasa masih kurang puas dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Sabda Rasulullah saw:

عَنْ عَبْدِاللهِ ابْنِ عَمْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا اَتاَهُ. (رواه مسلم)
“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam dan rizqinya cukup serta merasa cukup dengan apapun pemberian Allah swt kepadanya.” (HR. Muslim)

Disamping itu Qana’ah juga berfungsi sebagai dinamisator, yaitu kekuatan batin yang selalu mendorong seseorang untuk meraih kemajuan hidup berdasarkan kemandirian dengan tetap bergantung kepada karunia Allah.
II.I.IV. Pengertian Sabar
Sabar menurut bahasa berarti menahan dan mengekang. Sabar adalah kekhasan manusia, sesuatu yang tidak terdapat di dalam binatang sebagai faktor kekurangannya, dan di dalam malaikat sebagai faktor kesempurnaannya. Abdullah Al-Yamani, dalam bukunya tentang sabar mengartikan bahwa sabar adalah menahan diri dalam kesulitan. Adapun secara terminologi, kata sabar adalah menahan jiwa atau diri untuk tidak galau, menahan lisan untuk tidak mengeluh, serta menahan tangan dan kaki untuk tidak berlaku kasar terhadap orang lain.
Binatang telah dikuasai penuh oleh syahwat. Karena itu, satu-satunya pembangkit gerak dan diamnya hanyalah syahwat. Juga tidak memiliki “kekuatan” untuk melawan syahwat dan menolak tuntutannya, sehingga kekuatan menolak tersebut bisa disebut sabar.
Sebaliknya, malaikat dibersihkan dari syahwat sehingga selalu cenderung kepada kesucian ilahi dan mendekat kepada-Nya. Karena itu tidak memerlukan “kekuatan” yang berfungsi melawan setiap kecenderungan kepada arah yang tidak sesuai dengan kesucian tersebut.
Tetapi manusia adalah makhluk yang dicipta dalam suatu proses perkembangan; merupakan makhluk yang berakal, mukallaf (dibebani) dan diberi cobaan, maka sabar adalah “kekuatan” yang diperlukan untuk melawan “kekuatan” yang lainnya. Sehingga terjadilah “pertempuran” antara yang baik dengan yang buruk. Yang baik dapat juga disebut dorongan keagamaan dan yang buruk disebut dorongan syahwat.
Aspek kesabaran sangat luas, lebih luas dari apa yang selama ini dipahami oleh orang mengenai kata sabar. Imam al-Ghazali berkata, “Bahwa sabar itu ada dua; pertama bersifat badani (fisik), seperti menanggung beban dengan badan, berupa pukulan yang berat atau sakit yang kronis. Yang kedua adalah al-shabru al-nafsi (kesabaran moral) dari syahwat-syahwat naluri dan tuntutan-tuntutan hawa nafsu.

Kahar Masyhur dalam bukunya juga menjelaskan adanya beberapa macam tingkatan sabar, antara lain:
1. Shiddiiquun (صديقون)
Yaitu kesabaran yang dimiliki oleh orang-orang yang benar lahir bathinnya. Yang termasuk tingkatan ini adalah para Nabi dan Rasul Allah serta para sahabat.
2. Muqarrabuun (مقربون)
Yaitu kesabaran yang dimiliki oleh orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah swt dengan mengerjakan semua yang telah diperintahkan atasnya. Walaupun secara lahir terlihat patuh, namun bathinnya terkadang tidak begitu. Untuk mencapai tingkatan ini belum tertutup pintu, sehingga tiap manusia berhak untuk mencapainya.
3. Mujaahiduun (محاهدون)
Yaitu kesabaran yang dimiliki oleh orang-orang yang berjuang keras dalam melawan hawa nafsunya dan manusia yang berada dalam tingkatan ini telah banyak di masyarakat kita.
4. Ghaafiluun (غافلون)
Yaitu kesabaran yang dimiliki oleh orang-orang yang telah banyak sekali mendapat kekalahan dari kemenangan lawannya karena akalnya mudah dikalahkan, bahkan ia tidak mau tahu tentang rahasia yang Allah swt tetapkan untuknya sedikitpun, sehingga meskipun ia mengaku sebagai orang Islam namun tidak ada artinya sama sekali.

II. II. Contoh Perilaku Tawadhu’, Taat, Qana’ah, dan Sabar
II.II.I. Contoh Perilaku Tawadhu’
Tawadhu’ termasuk akhlak terpuji yang memang harus diajarkan sejak dini pada peserta didik. Walaupun pada dasarnya bukan suatu hal yang mudah untuk memberikan pengajaran mengenai tawadhu’ pada peserta didik kita yang masih baru menyelesaikan pendidikan dasarnya ini.
Adapun mengenai pendidikan tawadhu’ ini kami menyajikan contoh yang ada pada lingkungan sekitar, seperti sikap tawadhu’ yang sudah melekat pada tiap santri pondok pesantren. Secara keseluruhan para santri ini memiliki sifat tawadhu' yang sangat besar terhadap gurunya terlebih kepada pengasuh pesantren. Dalam sifat tawadhu' dapat kita lihat dalam beberapa hal sebagaimana berikut ini:
1. Santri memiliki kebiasaan mencium tangan kyai dan gurunya.
2. Tidak menatap wajah guru ketika berhadapan.
3. Menundukkan kepala ketika berada didepan gurunya.
4. Suaranya lebih rendah ketika berbicara dengan gurunya.
5. Menggunakan bahasa yang sopan ketika berbicara.

Namun ada pula santri yang berani serta kurang memiliki sikap tawadhu’ terhadap gurunya, tetapi keberanian tersebut sebatas penolakan terhadap perintah guru yang sifatnya emosi sesaat seperti terlihat setelah menerima hukuman dari seorang kyai/ guru ketika ia melanggar tata tertib pondok pesantren.
Di sisi lain ada juga semacam dikotomi (perbedaan) antara guru yang mengajar mata pelajaran umum yang berada di sekolah formal dengan guru yang mengajar mata pelajaran agama. Ini terlihat dari bentuk penghormatan dan ketawadhu'an seorang santri terhadap guru tersebut. Santri lebih memiliki penghormatan yang lebih terhadap guru mata pelajaran agama karena mereka lebih memiliki ta'alluq (hubungan) yang sangat besar dari pada guru pengajar pengetahuan umum. Dan begitu sebaliknya guru pada pendidikan formal dihormati tetapi penghormatan terhadap mereka kurang karena mereka merasa kurang memiliki ta'alluq (hubungan) terhadap guru tersebut.

II.II.II. Contoh Perilaku Taat
Perilaku taat banyak tercermin dalam kehidupan manusia. Salah satunya dalam kehidupan sosial dan agama mereka. Seseorang dikatakan taat pada Allah swt jika ia melaksanakan perintah-Nya. Misalnya, Allah menyuruh makhluk-Nya untuk selalu beribadah menyembah-Nya, maka sebagai wujud ketaatan seseorang pada Tuhannya adalah dengan melaksanakan ibadah tersebut sesuai dengan perintah-Nya.
Berikut akan kami sajikan dalam bentuk yang lebih sederhana dan dapat mudah di pahami dan di baca secara singkat dan jelas. Beberapa contoh perilaku taat antara lain:
1. Perilaku taat seorang hamba pada Tuhannya dengan melaksanakan perintah-Nya yang telah menjadi kewajibannya. Misal: Melaksanakan kewajiban Sholat, Puasa, Zakat dll.
2. Perilaku taat seorang anak pada orang tuanya. Misal: Berperilaku baik dan sopan terhadap orang lain sesuai dengan nasehat orang tua, tidak membantah apa yang telah diperintahkan orang tua selama itu baik.
3. Perilaku taat seorang siswa pada gurunya. Misal: Mengerjakan tugas yang telah diberikan guru dengan tepat waktu.
4. Perilaku taat seorang pegawai kepada atasannya. Misal: mengerjakan tugas-tugas yang telah dibebankan kepadanya dengan ikhlas dan tanpa pamrih.
5. Perilaku taat seorang santri kepada pengasuhnya/ kyainya.
6. Perilaku taat seseorang yang lebih muda usianya terhadap orang yang lebih tua.
7. Dll.

II.II.III. Contoh Perilaku Qana’ah
Qana’ah seharusnya merupakan sifat dasar setiap muslim, karena sifat tersebut dapat menjadi pengendali agar tidak surut dalam keputusasaan dan tidak terlalu maju dalam keserakahan.
Qana’ah bukan berarti hidup bermalas-malasan, tidak mau berusaha sebaik-baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Justru orang yang memiliki sifat Qana’ah itu selalu giat bekerja dan berusaha, namun apabila hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, ia akan tetap rela hati menerima hasil tersebut dengan rasa syukur kepada Allah swt. Sikap yang demikian itu akan mendatangkan rasa tentram dalam hidup dan menjauhkan diri dari sifat serakah dan tamak. orang yang memiliki sifat Qana’ah, memiliki pendirian bahwa apa yang diperoleh atau yang ada pada dirinya adalah ketentuan Allah. Firman Allah swt dalam Q.S. Hud: 6
                
“Tiada sesuatu yang melata di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizqinya, dan Dia Mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).”

Contoh perilaku qana’ah yang dimiliki oleh Nabi dan Rasul Allah adalah sebagaimana berikut:
1. Sikap qana’ah Nabi Yusuf a.s. ketika ia diangkat menjadi saudagar kaya ia selalu memberikan sebagian hartanya untuk diberikan kepada yang lebih membutuhkan.
2. Sikap qana’ah Nabi Sulaiman a.s. atas kekayaan yang Allah swt berikan kepadanya dengan berlimpah banyaknya, namun beliau tidak pernah pelit dan merasa sombong terlebih merasa kekurangan atas kekayaan yang dimilikinya.
3. Sikap qana’ah yang dimiliki Rasulullah saw atas rizki yang dilimpahkan kepada beliau. Beliau selalu merasa berkecukupan atas nikmat Allah tersebut dan tetap menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan.

Qana’ah itu bersangkut paut dengan sikap hati atau sikap mental. Oleh karena itu untuk menumbuhkan sifat Qana’ah diperlukan latihan dan kesabaran. Pada tingkat pemulaan mungkin merupakan sesuatu yang memberatkan hati, namun jika sifat Qana’ah sudah membudaya dalam diri dan telah menjadi bagian dalam hidupnya maka kebahagiaan didunia akan dapat dinikmatinya, dan kebahagiaan di akhirat kelak akan dicapainya.
Demikianlah betapa pentingnya sifat Qana’ah dalam hidup, yang apabila dimiliki oleh setiap orang dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari akan mendorong terwujudnya masyarakat yang penuh dengan ketentraman, tidak cepat putus asa, dan bebas dari keserakahan,serta selalu berfikir positif dan maju.
Betapa tidak, karena sebenarnya dalam Qana’ah terkandung unsur pokok yang dapat membangun pribadi muslim yang menerima dengan rela apa adanya, memohon tambahan yang pantas kepada Allah serta usaha dan ikhtiar, menerima ketentuan Allah dengan sabar, bertawakkal kepada Allah, dan tidak tertarik oleh tipu daya dunia.

II.II.IV. Contoh Perilaku Sabar
Bermacam-macam contoh perilaku sabar telah ada dalam hikayat-hikayat para Nabi terdahulu. Bercerita dengan mencontohkan perilaku sabar para Nabi dan Rasul ini adalah metode yang sangat tepat untuk diterapkan pada peserta didik kita. Dengan harapan agar mereka termotivasi dengan perilaku sabar para Nabi dan Rasul Allah kemudia membiasakannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Berikut akan kami sebutkan beberapa contoh perilaku sabar menurut pandangan para ulama’, antara lain:
- Seseorang yang sabar dalam ketaatan kepada Allah swt.
Seorang hamba harus sabar untuk tetap mentaati Allah swt, sebab taat kepada-Nya sangat berat dan sulit bagi diri dan jiwa seseorang, bahkan mungkin berat juga bagi fisiknya. Karena di samping fisik manusia sering merasa payah dan letih, juga kadang ia dibenturkan pada kendala ekonomi dan financial, seperti dalam masalah zakat dan haji.
Yang terpenting adalah bahwa ketaatan itu mengandung masyaqah (beban berat) bagi jiwa dan fisik. Maka dari itu, untuk melaksanakannya dibutuhkan kesabaran dan kesiapan untuk menanggung derita tersebut. Firman Allah dalam Q.S. Ali Imran: 200 disebutkan:
      •    
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu, dan kuatkanlah kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu).”

- Seseorang yang sabar dalam menjauhi larangan-larangan Allah swt yang telah dijaramkan-Nya.
Seorang hamba Allah swt dituntut untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang diharamkan Allah swt atasnya. Jiwa itu penuh amarah yang selalu menjerumuskannya ke dalam keburukan. Oleh sebab itu, seseorang dituntuk untuk menyabarkan dirinya agar tidak melakukan hal-hal buruk tersebut, seperti berbohong, menipu, memakan harta anak yatim, melakukan riba, mencuri, berzina, meminum khamr, dan maksiat yang lain.
- Sabar dalam menghadapi ketentuan dan putusan Allah swt sekalipun itu menyakitkan.
Ketentuan-ketentuan Allah swt terhadap manusia itu ada yang sesuai dan ada pula yang menyakitkan. Ketentuan yang sesuai dengan harapannya harus disyukuri dengan baik, karena syukur adalah salah satu bentuk ketaatan, sementara sabar untuk tetap taat merupakan jenis pertama dari kesabaran itu sendiri.
Adapun ketentuan Allah swt yang menyakitkan ata yang tidak sesuai dengan kehendak dan kemampuan manusia contohnya adalah jika seseorang diuji badan, fisik, dan hartanya, atau diuji keluarga dan masyarakatnya. Yang penting, untuk menghadapi ujian yang beragam itu dituntut sikap sabar dan tegar. Seseorang dituntut untuk sabar dengan tidak menampakkan keluhannya, baik dengan ucapan, hati, ataupun tindakan.
Bentuk kesabaran ini (non fisik) beraneka macam:
- Jika berbentuk sabar (menahan) dari syahwat perut dan kemaluan disebut iffah
- Jika di dalam musibah, secara singkat disebut sabar, kebalikannya adalah keluh kesah.
- Jika sabar di dalam kondisi serba berkucukupan disebut mengendalikan nafsu, kebalikannya adalah kondisi yang disebut sombong (al-bathr(
- Jika sabar di dalam peperangan dan pertempuran disebut syaja’ah (berani), kebalikannya adalah al-jubnu (pengecut).
- Jika sabar di dalam mengekang kemarahan disebut lemah lembut (al-hilmu), kebalikannya adalah tadzammur (emosional(
- Jika sabar dalam menyimpan perkataan disebut katum (penyimpan rahasia(
- Jika sabar dari kelebihan disebut zuhud, kebalikannya adalah al-hirshu (serakah(

Perilaku sabar pun tercermin dalam kisah para Nabi dan Rasul sebagaimana berikut:
1. Kesabaran Nabi Adam a.s dan Siti Hawa dalam mendapatkan hukuman dari Allah swt akibat ketidaktaatannya pada perintah Allah dengan menurunkan mereka ke bumi dan tidak bertemu selama berahun-tahun lamanya.
2. Kesabaran Nabi Nuh a.s terhadap perilaku umatnya dan anaknya Kan’an yang membangkang dan tidak mau taat dengan ajakan Nabi Nuh untuk menyembah kepada Allah swt.
3. Kesabaran Nabi Ibrahim a.s dalam api yang membakar dirinya akibat ulah umatnya yang sangat benci dengan ajakan beliau untuk menyembah Allah swt.
4. Kesabaran Nabi Luth a.s dalam menghadapi umatnya yang bertingkah laku tidak benar dengan saling menyukai sesama jenis.
5. Kesabaran Nabi Ya’qub a.s atas ujian yang diberikan Allah swt berupa sakit keras dan tak kunjung sembuh.
6. Kesabaran Nabi Musa a.s dalam menghadapi perilaku Raja Fir’aun yang menyebut dirinya sebagai Tuhan.
7. Kesabaran Nabi Sulaiman a.s dalam memiliki harta yang melimpah untuk tidak menghamburkan-hamburkannya dengan percuma serta sabar dalam menghadapi cobaan seorang wanita yang bernama Ratu Bilqis yang pernah menggoda dirinya.
8. Kesabaran Nabi Yunus a.s atas ujian dari Allah swt ketika berada dalam perut ikan paus selama berhari-hari dengan tanpa sedikitpun makanan.
9. Kesabaran Nabi Isa a.s dari kejaran umatnya yang membangkang dan sangat ingin membunuhnya.
10. Kesabaran Nabi Muhammad saw yang bertahun-tahun lamanya berdakwah secara sembunyi-sembunyi dari cacian dan kejaran kaum Kafir Quraisy yang sangat membenci beliau dan ingin membunuh beliau beserta keluarga.

II.III. Metode Pembelajaran Akhlak Terpuji Pada Peserta Didik
Adapun metode pembelajaran dalam membiasakan seorang peserta didik yang tepat untuk selalu memiliki perilaku terpuji seperti tawadhu’, taat, qan’ah dan sabar adalah sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya dengan metode cerita dan percontohan. Karena dengan itu, selain termotivasi dengan cerita-cerita yang diberikan, mereka juga dapat melihat secara nyata contoh sikap terpuji yang kita lakukan dalam hidup sehari-hari.
Ada 5 metode pendidikan anak yang efektif akan kami jelaskan secara singkat, antara lain:
1. Pendidikan dengan Keteladanan
Kita memberikan keteladanan pada anak dengan menceritakan:
a. Ibadah Rasul
b. Kepemurahan Rasul
Kalau mereka menghendaki sesuatu, maka ajaklah mereka untuk banyak memberi dan jelaskan pada mereka bahwa Allah swt pasti mengganti pemberian kita kepada orang lain dengan pemberian yang lebih. Dan pada anak yang berumur 2-3 tahun, ego anak sudah mulai muncul, oleh kerena itu ajarkan kepada mereka kepemilikan dan murah hati.
c. Kezuhudan Rasul
d. Sikap tawadhu’ Rasul
e. Sikap sabar, qana’ah dan penyantun Rasul
f. Sikap kesehatan dan keberanian Rasul
Keteladan di atas akan lebih terekam pada diri anak jika mereka jika mereka kita ajak untuk mempraktekkannya.
2. Pendidikan dengan Pembiasaan
Biasakan anak dengan sesuatu yang baik. Kebiasaan itu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Misalnya bagi anak perempuan, biasakan pakai jilbab sedari kecil. Jangan lupa kita juga harus punya argumentasi dalam memberlakukan kebiasaan itu pada anak.
3. Pendidikan dengan Memberikan Pelajaran
a. Ajakan-ajakan/ seruan-seruan yang argumentatif. Misalnya bercerita mengenai nasihat Lukman untuk anaknya yang tertuang dalam Surat Lukman.
b. Al-Uslubul-Qoshoshi: Cerita-cerita yang ada di dalam Al-Qur’an. Misalnya bercerita mengenai kisah Nabi Yusuf, Siti Maryam, Ashabul Kahfi, Bani Israil dll.
c. Pesan-pesan langsung atau dengan perintah-perintah praktis.
4. Pendidikan dengan Pengawasan dan Pengamatan. Hal yang diamati antara lain:
a. Dimensi Iman (hatinya)
b. Dimensi Akhlak (tingkah lakunya)
c. Dimensi Pengetahuan (akalnya)
d. Dimensi Fisik
e. Dimensi Psikis (emosinya)
f. Dimensi Tingkah laku sosial (sosialisasinya)
5. Pendidikan dengan Memberikan Sangsi

Berikut ini adalah cara Rasulullah saw dalam mendidik dan mengajari putra/ putrinya dalam hal berperilaku terpuji, seperti tawadhu’, taat, qana’ah, dan sabar antara lain:
a. Dialog
b. Perumpamaan
c. Ringkas dan tidak membosankan serta tepat
d. Memperhatikan keadaan dan kesempatan
e. Mendahulukan yang lebih penting (menjawab pertanyaan tidak harus sama).
Ada juga beberapa metode pembelajaran dalam bersikap qana’ah yang jika kita laksanakan maka dengan izin Allah seseorang akan dapat merealisasikannya. Di antaranya, yaitu:

1. Memperkuat Keimanan Kepada Allah swt
Juga membiasakan hati untuk menerima apa adanya dan merasa cukup terhadap pemberian Allah swt, karena hakikat kaya itu ada di dalam hati. Barangsiapa yang kaya hati maka dia mendapatkan nikmat kebahagiaan dan kerelaan meskipun dia tidak mendapatkan makan di hari itu.
Sebaliknya siapa yang hatinya fakir maka meskipun dia memilki dunia seisinya kecuali hanya satu dirham saja, maka dia memandang bahwa kekayaannya masih kurang sedirham, dan dia masih terus merasa miskin sebelum mendapatkan dirham itu.
2. Yakin Bahwa Rizki Telah Tertulis
Seorang muslim yakin bahwa rizkinya sudah tertulis sejak dirinya berada di dalam kandungan ibunya. Sebagaimana di dalam hadits dari Ibnu Mas’ud r.a., disebutkan sabda Rasulullah saw di antaranya:
“Kemudian Allah mengutus kepadanya (janin) seorang malaikat lalu diperintahkan menulis empat kalimat (ketetapan), maka ditulislah rizkinya, ajalnya, amalnya, celaka dan bahagianya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad(

Seorang hamba hanya diperintah kan untuk berusaha dan bekerja dengan keyakinan bahwa Allah swt yang memberinya rizki dan bahwa rizkinya telah tertulis.
3. Memikirkan Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Agung
Terutama sekali ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah rizki dan bekerja (usaha). ‘Amir bin Abdi Qais pernah berkata, “Empat ayat di dalam Kitabullah apabila aku membacanya di sore hari maka aku tidak peduli atas apa yang terjadi padaku di sore itu, dan apabila aku membacanya di pagi hari maka aku tidak peduli dengan apa aku akan berpagi-pagi, yaitu:

•   ••              
   
”Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada seorangpun yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Fathiir: 2(

              •  
          
“Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya.” (Q.S.Yunus: 107(

            
    
”Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Q.S. Huud: 6(

                 
          
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (Q.S. Ath-Thalaq: 7)


4. Ketahui Hikmah Perbedaan Rizki
Di antara hikmah Allah swt menentukan perbedaan rizki dan tingkatan seorang hamba dengan yang lainnya adalah supaya terjadi dinamika kehidupan manusia di muka bumi, saling tukar manfaat, tumbuh aktivitas perekonomian, serta agar antara satu dengan yang lainnya saling memberikan pelayanan dan jasa. Allah swt berfirman:
        •      
             

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentu kan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Q.S. Az-Zukhruf: 32(

          
    •       

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (Q.S.Al-An’am: 165)
5. Banyak Memohon Qana’ah kepada Allah
Rasulullah saw adalah manusia yang paling qana’ah, ridha dengan apa yang ada dan paling banyak zuhudnya. Beliau juga seorang yang paling kuat iman dan keyakinannya, namun demikian beliau masih meminta kepada Allah swt agar diberikan qana’ah, beliau berdo'a:
“Ya Allah berikan aku sikap qana’ah terhadap apa yang Engkau rizkikan kepadaku, berkahilah pemberian itu dan gantilah segala yang luput (hilang) dariku dengan yang lebih baik.” (HR. Hakim)

Dan karena saking qana’ahnya, beliau tidak meminta kepada Allah swt kecuali sekedar cukup untuk kehidupan saja, dan meminta disedikitkan dalam dunia (harta) sebagaimana sabda beliau:
“Ya Allah jadikan rizki keluarga Muhammad hanyalah kebutuhan pokok saja.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan Tirmidzi)
6. Menyadari Bahwa Rizki Tidak Diukur dengan Kepandaian
Kita harus menyadari bahwa rizki seseorang itu tidak tergantung kepada kecerdasan akal semata, kepada banyaknya aktivitas, keluasan ilmu, meskipun dalam sebagiannya itu merupakan sebab rizki, namun bukan ukuran secara pasti.
Kesadaran tentang hal ini akan menjadikan seseorang bersikap qana’ah, terutama ketika melihat orang yang lebih bodoh, pendidikannya lebih rendah dan tidak berpengalaman mendapatkan rizki lebih banyak daripada dirinya, sehingga tidak memunculkan sikap dengki dan iri.
7. Melihat ke Bawah dalam Hal Dunia
Dalam urusan dunia hendaklah kita melihat kepada orang yang lebih rendah, jangan melihat kepada yang lebih tinggi, sebagaimana sabda Nabi saw:
“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah.” (HR. Bukhari & Muslim(

Jika saat ini anda sedang sakit, maka yakinlah bahwa selain anda masih ada lagi lebih parah sakitnya. Jika anda merasa fakir, maka tentu di sana masih ada orang lain yang lebih fakir lagi, dan seterusnya. Jika anda melihat ada orang lain yang mendapatkan harta dan kedudukannya lebih dari anda, padahal dia tidak lebih pintar dan tidak lebih berilmu dibanding anda, maka mengapa anda tidak ingat bahwa anda telah mendapatkan sesuatu yang tidak dia dapatkan?
8. Membaca Kehidupan Salaf
Yakni melihat bagaimana keadaan mereka dalam menyikapi dunia, bagaimana kezuhudan mereka, qana’ah mereka terhadap yang mereka peroleh meskipun hanya sedikit. Di antara mereka ada yang memperolah harta yang melimpah, namun mereka justru memberikannya kepada yang lain dan yang lebih membutuhkan.
9. Menyadari Beratnya Tanggung Jawab Harta
Bahwa harta akan mengakibatkan keburukan dan bencana bagi pemiliknya jika dia tidak mendapatkannya dengan cara yang baik serta tidak membelanjakannya dalam hal yang baik pula.
Ketika seorang hamba ditanya tentang umur, badan, dan ilmunya maka hanya ditanya dengan satu pertanyaan yakni untuk apa, namun tentang harta maka dia dihisab dua kali, yakni dari mana memperoleh dan ke mana membelanjakannya. Hal ini menunjukkan beratnya hisab orang yang diberi amanat harta yang banyak sehingga dia harus dihisab lebih lama dibanding orang yang lebih sedikit hartanya.
10. Melihat Realita bahwa Orang Fakir dan Orang Kaya Tidak Jauh Berbeda.
Karena seorang yang kaya tidak mungkin memanfaatkan seluruh kekayaannya dalam satu waktu sekaligus. Kita perhatikan orang yang paling kaya di dunia ini, dia tidak makan kecuali sebanyak yang dimakan orang fakir, bahkan mungkin lebih banyak yang dimakan orang fakir. Tidak mungkin dia makan lima puluh piring sekaligus, meskipun dia mampu untuk membeli dengan hartanya. Andaikan dia memiliki seratus potong baju maka dia hanya memakai sepotong saja, sama dengan yang dipakai orang fakir, dan harta selebihnya yang tidak dia manfaatkan maka itu relatif.

Daftar Pustaka

Abdullah, Yatimin. 2007. Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur'an. Jakarta: Amzah
Annila Syiva, Qana’ah atau Berpikir Positif, Kamis, 26/10/2006 06:04 pm, [Tersedia] http://annilasyiva.multiply.com/journal/item/45 [Online] Selasa, 12 oktober 2010
Al-Yamani, Abdullah. 2009. Sabar. Jakarta: Qisthi Press
Etika Suryandari, Metode Pendidikan Anak yang Efektif, Kamis, 04/06/2009 [Tersedia] http://thickozone.blogspot.com/2009/06/metode-pendidikan-anak-yang-efektif.html [Online] Selasa, 12 Oktober 2010
Fadholi, Mohammad. Keutamaan Budi dalam Islam. Surabaya: Usana Offset Printing
http://www.crayonpedia.org/mw/perilaku-terpuji/tawadhu’/taat/qana’ah/sabar
Khalid, Amru. 2007. Berakhlak Seindah Rasulullah. Semarang: PT Pustaka Riski Putra
Masyhur, Kahar. 1994. Membina Moral dan Akhlak. Jakarta: PT Rineka Cipta
Muhammad Jamhuri, Sabar Menurut Al-Qur’an, Rabu, 6 Juni 2007 [Tersedia] http://muhammadjamhuri.blogspot.com/2007/06/sabar-menurut-al-quran.html [Online] Selasa, 12 Oktober 2010
Sugiyanta, Akhlak Santri dalam Abad 21, 04/2010 [Tersedia] http://twobexmisbach.blogspot.com/2010/04/sifat-tawadhu-andap-ashor-seorang.html [Online] Selasa, 12 Oktober 2010
Ummu Salama, Jalan Menuju Qana’ah, Senin, 19/02/2007 10:34 am, [Tersedia] http://ummusalma.wordpress.com/jalan-menuju-qanaah/ [Online] Selasa, 12 Oktober 2010

perkembangan kognitif

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkembangan Kognitif
Kognitif secara umum diartikan sebagai apa yang dikethui serta apa yang dipikirkan oleh seseorang. Juga ditelaah gambaran klasiknya, maka kognitif meliputi “higher-mental processes” seperti pengetahuan, kesadaran, intelegensi, pikiran, imaginasi, daya cipta, perencanaan, penalaran, pengumpulan, pemecahan masalah, pembuatan konsep, pembuatan klasifikasi dan kaitan-kaitan, pembuatan symbol-simbol dan mungkin juga fantasi serta mimpi. Gambaran masa kini mengenai kognitif mencakup batasan-batasan yang lebih luas. Ada yang menambahkan psikomotorik, persepsi, bayangan, ingatan, perhatian, dan belajar.
Serupa dengan aspek-aspek perkembangan yang lainnya, kemampuan kognitif anak juga mengalami perkembangan tahap demi tahap. Secara sederhana, kemampuan kognitif dapat dipahami sebagai kemampuan anak untuk berpikir lebih kompleks serta kemampuan melakukan penalaran dan pemecahan masalah. Dengan berkembangnya kemampuan kognitif ini akan memudahkan peserta didik menguasai pengetahuan umum yang lebih luas, sehingga anak mampu melanjutkan fungsinya dengan wajar dalam interaksinya dengan masyarakat dan lingkungan.
Sehingga dapat dipahami bahwa perkembangan kognitif adalah salah satu aspek perkembangan peserta didik yang berkaitan dengan pengetahuan, yaitu semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan lingkungannya.

B. Teori Perkembangan Kognitif Menurut Pandangan Piaget
Setelah diuraikan tentang pengertian perkembangan kognitif secara umum di atas, selanjutnya akan diuraikan tentang perkembangan kognitif secara spesifik yaitu perkembangan kognitif menurut pandangan Piaget.
Jean Piaget merupakan salah seorang pakar psikologis Swiss yang banyak mempelajari perkembangan kognitif anak. Dari hasil wawancara dan pengamatannya terhadap anaknya sendiri, Piaget meyakini bahwa anak membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri. Anak itu tidak pasif dalam menerima informasi, melainkan berperan aktif di dalam menyusun pengetahuannya mengenai realitas.
1. Ide-ide dasar teori Piaget
Piaget menemukan beberapa konsep dan prinsip-prinsip tentang sifat-sifat perkembangan kognitif anak, yang mana hal ini dihasilkan dari wawancara dan pengamatannya yang mendalam dengan anaknya dalam situasi pemecahan masalah. Diantaranya konsep dan prinsip tersebut adalah:
a. Anak adalah pembelajar yang aktif, yaitu Piaget meyakini bahwa anak itu tidak hanya mengobservasi dan mengingat apa-apa yang mereka lihat dan dengar secara pasif. Tetapi sebaliknya, mereka selalu ingin tahu tentang dunia mereka sehingga secara aktif mereka berusaha untuk mencari informasi-informasi yang digunakan untuk membantu pemahaman tentang realitas dunia yang ereka hadapi. Untuk memahami hal tersebut, anak-anak menggunakan apa yang biasanya disebut oleh Piaget dengan “schema” yakni suatu konsep atau kerangka yang ada dalam pikiran anak yang digunakan untuk mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi.
b. Anak mengorganisasi apa yang mereka pelajari dari pengalamannya. Yakni anak-anak itu tidak hanya mengumpulkan apa-apa yang mereka pelajari dari fakta-fakta yang terpisah menjadi kesatuan, sebaliknya mereka secara gradual membangun suatu pandangan menyeluruh tentang bagaimana dunia itu bergerak. Misalnya ketika seorang anak itu berintegrasi dengan binatang-binatang kesukaannya, mengunjungi kebun binatang atau melihat gambar-gambar binatang, mereka ini mulai mengembangkan suatu pemahaman yang kompleks tentang binatang-binatang.
c. Anak menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Ketika mereka menggunakan dan mengadaptasi skema mereka, ada dua proses yang bertanggung jawab, yaitu assimilation dan accommodation. Proses asimilasi ini terjadi ketika seorang anak memasukkan pengetahuan baru kedalam pengetahuan yang sudah dimilikanya. Sedangkan proses akomodasi ini terjadi ketika seorang anak menyesuaikan diri pada informasi baru, yakni anak menyeuaikan skema mereka dengan lingkungannya.
d. Proses ekuilibrasi menunjukkan adanya peningkatan ke arah bentuk-bentuk pemikiran yang lebih komplek. Menurut Piaget, melalui proses asimilasi dan akomodasi sistem kognisi seseorang berkembang dari satu tahap ke tahap selanjutnya, sehingga terkadang mencapai keadaan equilibrium, yaitu keadaan seimbang antara struktur kognisinya dan pengalamannya di lingkungan. Keadaan seimbang ini tidaklah bertahan hingga batas waktu yang tidak ditentukan, terkadang sebagai anak yang sedang tumbuh, sering kali mereka berhadapan dengan situasi dimana mereka tidak bisa menjelaskan secara memuaskan tentang dunia dalam terminology yang dipahainya. Kondissi yang demikian ini akan menimbulka konflik kognitif atau disequilibrium, yakni semacam ketidaknyamanan mental yang mendorongnya untuk mencoba membuat pemahaman tentang apa yang mereka saksikan. Namun pada akhirnya mereka mampu memecahkan konflik, mampu memahami kejadian-kejadian yang sebelumnya membingungkan, serta kembali mendapatkan keseimbangan pemikiran dengan memakai akomodasi. Serangkaian proses inilah yang disebut dengan proses ekuilibrasi.
2. Tahapan Perkembangan Kognitif
Piaget meyakini bahwa pemikiran anak itu berkembang melalui serangkaian tahap pemikiran dari masa bayi hingga masa dewasa. Tahap-tahap ini secara kualitatif berbeda pada setiap individu. Begitu juga dengan corak pemikiran anak pada satu tahap berbeda dengan pemikirannya pada tahap lain. Jean piaget membagi perkembangan intelek/kognitif menjadi empat tahapan sebagai berikut:
a. Tahap Sensori-Motoris
Tahap ini dialami pada usia 0-2 tahun. Menurut Piaget pada tahap ini interaksi anak pada lingkungannya, termasuk orang tuanya, terutama dilakukan melalui perasaan dan otot-ototnya. Interaksi ini terutama diarahkan oleh sensasi-sensasi dari lingkungannya. Dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya, termasuk juga dengan orang tuanya, anak mengembangkan kemampuannya untuk mempersepsi, melakukan sentuhan-sentuhan, melakukan berbagai gerakan, dan secara perlahan-perlahan belajar mengkoordinasi tindakan-tindakannya.
b. Tahap Operasional.
Tahap ini berlangsung pada usia 2-7 tahun. Tahap ini disebut juga tahap intuisi sebab perkembangan kognitifnya memperlihatkan kecenderungan yang di tandai oleh suasana intuitif. Artinya, semua perbuatan rasionalnya tidak di dukung oleh pemikiran tetapi oleh unsur perasaan, kecenderungan alamiah, sikap-sikap yang diperoleh dari orang-orang bermakna dan lingkungan sekitarnya.
Menurut Piaget anak sangat bersifat egosentris sehingga seringkali mengalami masalah dalam berinteraksi dengan lingkungannya, termasuk dengan orang tuanya. Dalam berinteraksi dengan orang lain anak cenderung sulit untuk dapat memahami pandangan orang lain dan lebih banyak mengutamakan pandangannya sendiri. Dalam berinteraksi dengan lingkungannya, ia masih sulit untuk membaca kesempatan atau kemungkinan-kemungkinan karena masih punya anggapan bahwa hanya ada satu kebenaran atau peristiwa dalam setiap situasi.
Pada tahap ini anak mampu menyimpan kata-kata serta menggunakannya terutama yang berhubungan erat dengan kebutuhan mereka. Pada masa ini anak siap belajar bahasa, membaca, dan menyanyi. Ketika kita menggunakan bahasa yang benar untuk berbicara pada anak, akan mempunyai akibat sangat baik pada perkembangan bahasa mereka. Cara belajar yang memegang peran pada tahap ini ialah intuisi. Intuisi membebaskan mereka dari berbicara semaunya tanpa menghiraukan pengalaman konkret dan paksaan dari luar. Sering kita lihat anak berbicara sendiri dengan benda-benda yang ada disekitarnya, misalnya pohon, anjing,kucing, dan sebagainya. Peristiwa semacam ini baik untuk melatih diri anak menggunakan kekayaan bahasanya. Piaget menyebut tahap ini sebagai collective monologue, pembicara yang egosentris dan sedikit hubungan dengan orang lain.
c. Tahap Operasional Konkret
Tahap ini berlangsung pada usia 7-11 tahun. Pada usia ini anak mulai menyesuaikan diri dengan realitas konkret dan sudah mulai berkembang rasa ingin tahunya. Menurut Piaget Interaksinya dengan lingkunagannya, termasuk dengan orang tuanya, sudah semakin berkembang dengan baik egosentrisnya sudah semakin berkurang. Anak sudah dapat mengamati, menimbang, mengevaluasi, dan menjelaskan pikiran-pikiran orang lain dalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif.
Pada tahap ini anak sudah mulai memahami fungsional karena mereka sudah menguji coba permasalahan. Cara berpikir anak yang masih bersifat konkret menyebabkan mereka belum mampu menangkap yang abstrak atau melakukan abstraksi tentang sesuatu yang konkret.
d. Tahap Operasional Formal
Tahap ini dialami oleh anak pada usia 11 tahun ke atas. Pada masa ini anak telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan dalam pekerjaannya merupakan hasil dari berpikir logis. Aspek perasaan dan moralnya juga telah berkembang sehingga dapat mendukung penyelesaian tugas-tugasnya.
Menurut Piaget Interaksinya dengan lingkungan sudah amat luas, menjangkau banyak teman sebayanya dan bahkan berusaha untuk berinteraksi dengan orang dewasa. Kondisi seperti ini tidak jarang menimbulkan masalah dengan interaksinya dengan orang tua. Namun secara diam-diam sebenarnya mereka juga masih mengharapkjan perlindunhan orang tua karena belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.
Karena pada tahap ini anak sudah mulai mampu mengembangkan pikiran formalnya, mereka juga mulai mampu mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi. Arti simbolik dan kiasan dapat mereka mengerti. Melibatkan mereka dalam suatu kegiatan akan lebih memberikan akibat yang positif bagi perkembangan kognitifnya.
3. Karakteristik perkembangan kognitif peserta didik
Perkembangan kognitif peserta didik itu mempunyai karakteristik masing-masing, dimana perkembangan kognitif antara peserta didik di SD pasti berbeda dengan perkembangan kognitif peserta didik di SMP atau SMA. Karakteristik perkembangan kognitif peserta didik ini bisa di bagi menjadi dua tingkatan, sebagai berikut:
a. Usia Sekolah (Sekolah Dasar-SD)
Mengacu pada teori kognitif Piaget, pemikiran anak-anak diusia sekolah dasar ini termasuk dalam tahap pemikiran konkret-operasional, yakni masa dimana aktivitas mental anak terfokus pada objek-objek yang nyata atau pada berbagai kejadian yang pernah dialaminya. Pada usia sekolah ini anak sudah memiiki kemampuan untuk berpikir melalui urutan sebab-akibat dan mulai mengenali banyaknya cara yang bisa ditempuh dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
Dalam upaya memahami alam sekitarnya, mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersifat pancaindra, karena mereka sudah mulai mampu untuk membedakan apa yang tampak oleh mata dengan apa kenyataan yang sesungguhnya. Menurut Piaget anak-anak dalam usia ini telah mampu menyadari konservasi, yaitu kemampuan anak untuk berhubungan dengan sejumlah aspek yang berbeda secara serempak. Karena pada masa ini anak telah mengmbangkan tiga macam proses yang disebut sebagai operasi-operasi, yaitu:
1) Negasi, yaitu suatu proses dimana pada masa pra-operasional anak hanya melihat keadaan permulaan dan akhir dari deretan benda, yaitu pada mulanya keadaannya sama dan pada akhirnya keadaannya menjadi berbeda. Mereka tidak melihat apa yang terjadi diantaranya. Tetapi pada masa konkret operasional ini anak itu sudah mampu untuk memahami proses apa yang terjadi di antara kegiatan itu dan memahami hubungan-hubungan antara keduanya.
2) Hubungan timbal balik (resiprokasi), proses dimana seorang anak itu sudah mengetahui hubungan timbal balik dari suatu kejadian, misalnya ketika anak melihat bagaimana deretan dari benda-benda itu diubah, anak mengetahui bahwa deretan benda-benda itu bertambah panjang, tetapi tidak rapat lagi dibandingkan dengan deretan lain. Karena anak itu sudah mengetahui hubungan timbale balik, maka anak itu juga tahu bahwa jumlah benda-benda yang ada pada kedua deretan itu sama.
3) Identitas, yaitu anak pada masa konkret operasional ini sudah bisa mengenal satu persatu benda-benda yang ada pada deretan-deretan itu dan anak sudah bisa menghitung.
Pada masa konkret operasional ini pemikiran anak masih terbatas pada hal-hal yang ada hubungannya dengan sesuatu yang konkret, suatu realitas secara fisik, benda-benda yang benar-benar nyata. Keterbatasan lain pada masa ini yaitu egosentrisme, artinya anak belum mampu membedakan antara perbuatan-perbuatan dan objek-objek yang secara langsung dialami dengan perbuatan-perbuatan dan objek-objek yang hanya ada dalam pikirannya.
b. Remaja (SMP dan SMA)
Secara umum karakteristik pemikiran remaja pada tahap operasional formal ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Pada tahap operasional formal remaja sudah mampu mengintegrasikan apa yang telah mereka pelajari dengan tantangan di masa mendatang dan membuat rencana untuk masa depan.
Pada tahap ini juga remaja sudah mampu untuk berpikir sistematis, mampu berpikir apa yang akan terjadi, serta mampu untuk memecahkan masalah dengan membuat perencanaan kegiatan terlebih dahulu dan berusaha mengantisipasi berbagai macam informasi yang akan diperlukannya untuk memecahkan masalah tersebut.
4. Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget terhadap pendidikan.
Meskipun Piaget tidak banyak menulis tentang pendidikan, dan teori-teori kognitif yang diajukan Piaget ini sebenarnya hanya bermaksud menerangkan dan memberi satu pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana kognisi anak-anak berkembang. Akan tetapi teori kognitif Piaget ini memberikan pengaruh yang sangat besar serta acuan penting dalam proses pendidikan di Sekolah. banyak Guru yang mendapatkan ide dari teori Piaget ini untuk mendesain kurikulum dan memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif peserta didiknya.
Sebagaimana dalam bukunya Desmita yang mengutip dari Teresa M. McDevitt dan Jeanne Ellis Ormrod (2002) menyebutkan implikasi teori Piaget bagi Guru-guru di sekolah, yaitu:
a. Memberikan kesempatan pada peserta didik melakukan eksperimen terhadap objek-objek fisik dan fenomena-fenomena alam. Anak-anak dari seua usia akan banyak mendapat pelajaran dari hasil eksplorasi dunia nyata. Misalnya pada tingkat pra-operasional eksplorasi ini bisa berupa permainan dengan air, pasir, balok-balok kayu, dan lain-lain.
b. Mengeksplorasi kemampuan penalaran siswa dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau pemberian tugas-tugas pemecahan masalah. Karena dengan mengetahui pemikiran dan penalaran para siswa, guru akan dapat menyusun kurikulum dan materi-materi pengajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir mereka.
c. Tahap-tahap perkembangan kognitif Piaget menjadi acuan dalam menginterpretasikan tingkah laku siswa dan mengembangkan rencana pelajaran.
d. Tahap-tahap kognitif Piaget juga memberikan petunjuk bagi para Guru dalam memilih strategi pembelajaran yang lebih efektif pada tingkat kelas yang berbeda.
e. Merancang aktifitas kelompok di mana siswa berbagi pandangan dan kepercayaan dengan siswa lain. Menurut Piaget interaksi dengan teman sebaya atau teman sekelas sangat membantu anak memahami bahwa orang lain memiliki pandangan dunia yang berbeda dengan pandangannya sendiri dan ide-ide mereka tidak selalu akurat dan logis.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif Peserta Didik
Perkembangan kognitif sebenarnya dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu hereditas dan lingkungan. Pengaruh faktor hereditas dan lingkungan terhadap perkembangan kognitif dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Faktor Hereditas
Semenjak dalam kandungan, anak telah memiliki sifat-sifat yang menentukan daya kerja intelektualnya. Secara potensial anak telah membawa kemungkinan, apakah akan menjadi kemampuan berpikir setaraf normal, diatas normal, atau di bawah normal. Namun, potensi ini tidak akan berkembang atau terwujud secara optimal apabila lingkungan tidak memberi kesempatan untuk berkembang. Oleh karena itu, peranan lingkungan sangat menentukan perkembangan intelektual anak.
2. Faktor Lingkungan
Variasi dalam stimulus adalah bagian penting dari lingkungan dan belajar untuk perkembangan inteligensi/kognitif anak. Bila pengalaman awal masa kanak-kanak banyk diisi dengan variasi dalam melihat, mendengar, dan meraba, maka perkembangan berikutnya akan ditunjang oleh kemauan yang selalu menginginkan variasi dalam melihat, mendengar, dan meraba. Kapasitas ini menjadi kunci bagi perkembangan kognitf anak. Ada dua unsur lingkungan yang sangat penting peranannya dalam mempengaruhi perkembangan kognitif anak, yaitu keluarga dan sekolah.
a. Keluarga
Yang paling penting dilakukan oleh orang tua atau keluarga adalah memberikan pengalaman kepada anak dalam berbagai bidang kehidupan sehingga anak memiliki informasi yang banyak yang merupakan alat bagi anak untuk berpikir. Cara-cara yang digunakan, misalnya memberi kesempatan kepada anak untuk mewujudkan ide-idenya, menghargai ide-ide tersebut, memuaskan dorongan keingintahuan anak dengan jalan seperti menyediakan bacaan, alat-alat keterampilan, dan alat-alat yang dapat mengembangkan daya kreativitas anak. Memberi kesempatan atau pengalaman tersebut akan menuntut perhatian orang tua.
b. Sekolah
Sekolah adalah lembaga formal yang diberi tanggung jawab untuk meningkatkan perkembangan berpikir anak. Dalam hal ini, guru hendaknya menyadari bahwa perkembangan kognitif anak terletak di tangannya. Beberapa cara diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Menciptakan interaksi atau hubungan yang akrab dengan peserta didik. Dengan hubungan yang akrab tersebut, secara psikologis peserta didik akan merasa aman sehingga segala masalah yang dialaminya secara bebas dapat dikonsultasikan dengan guru mereka.
2) Memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk berdialog dengan orang-orang yang ahli dan berpengalaman dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, sangat menunjang perkembangan kognitif anak. Membawa para peserta didik ke objek-objek tertentu, seperti objek budaya dan ilmu pengetahuan, sangat menunjang perkembangan kognitif peserta didik.
3) Menjaga dan meningkatkan pertumbuhan fisik anak, baik melalui kegiatan olahraga maupun menyediakan gizi yang cukup, sangat penting bagi perkembangan peserta didik. Sebab jika peserta didik terganggu secara fisik, perkembangan kognitifnya juga akan terganggu.
4) Meningkatkan kemampuan berbahasa peserta didik, baik melalui media cetak maupun dengan menyediakan situasi yang memungkinkan para peserta didik berpendapat atau mengemukakan ide-idenya. Hal ini sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan kognitif peserta didik.
Menurut Andi Mappiare hal-hal yang mempengaruhi perkembangan kognitif antara lain :
1. Bertambahnya informasi yang disimpan (dalam otak) seseorang yang sehingga ia mampu berfikir refleksi.
2. Banyaknya pengalaman dan latihan-latihan memecahkan masalah sehingga seseorang dapat berpikir proporsional.
3. Adanya kebebasan berfikir, menimbulkan keberanian seseorang dalam menyusun hipotesis-hipotesis yang radikal, kebebasan menjajaki masalah keseluruhan, dan menunjang keberanian anak memecahkan masalah dan menarik kesimpulan yang baru dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad dan Mohammad Asrori. 2006. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara

Desmita. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung: Rosdakarya
Desmita. 2010. Psikologi Perkembangan Peserta Didik (Panduan bagi orang Tua dan Guru dalam Memahami Psikologi Anak Usia SD, SMP dan SMA). Bandung: Rosdakarya

Setiono, Kusdwiratri. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung: Widya Padjadjaran

Sunarto dan Agung Hartono. 1999. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta