PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Jinayat ( Pidana )
Jinayat menurut bahasa adalah melakukan dosa/kesalahan dan kejahatan, kadang-kadang ia mengenai jiwa dan anggota badan, baik sengaja maupun tidak disengaja. Sedangkan menurut istilah ( terminologi ) adalah setiap tindakan aniaya terhadap jiwa ataupun harta. Dikalangan ulama’ fiqih, definisi jinayat dispesifikasikan dengan sesuatu yang bisa menyakiti badan, sedangkan kejahatan terhadap harta benda dinamakan dengan ghashab ( memakai harta benda orang lain tanpa izin ), merampas atau merampok, mencuri, korupsi, dan merusak.
2.2 Dasar Hukum Larangan Membunuh
Setiap tindak kejahatan baik terhadap jiwa, raga atau harta tanpa alasan yang benar adalah haram. Dan banyak sekali dalil-dalil syara’ yang menerangkan hal ini, misalnya firman Allah swt: (Q.S Al-An’am:151)
•
Artinya: Katakanlah: " Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.
كُلُّ مُسْلِمٍ على مسلمٍ حرامٌ دَمُه ومالُه وعِرْضُه
“ Setiap orang Muslim adalah haram atas orang Muslim lainnya: darahnya, hartanya, dan kehormatannya”.
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا
“...Sesungguhnya darah dan harta kalian haram atas kalian sebagaimana keharaman hari kalian ini, dibulan kalian ini, dinegeri kalian ini”.
2.3 Macam-Macam Pembunuhan
Dalam berbagai macam literatur telah banyak disebutkan bahwa pembunuhan terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
1. Pembunuhan dengan sengaja
2. Pembunuhan serupa dengan sengaja
3. Pembunuhan tidak disengaja
Pembunuhan dengan sengaja adalah adanya seorang mukallaf yang sengaja (dan terencana) membunuh orang yang terlindungi darahnya (tak bersalah), dengan dasar dugaan kuat bahwa dia harus dibunuh olehnya.
Dari definisi tersebut kita dapat mengambil pengertian, bahwa pembunuhan tidak tergolong disengaja, kecuali jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Adanya kesengajaan dari pihak pembunuh. Yaitu, kemauan untuk membunuh.
2. Pembunuh itu mengetahui bahwa orang yang hendak dibunuh seorang anak adam yang darahnya dilindungi.
3. Alat yang digunakan untuk membunuh adalah sesuatu yang pada umumnya bisa membunuh, baik ditajamkan atau tidak ditajamkan.
Jika salah satu syarat-syarat itu rusak, pembunuhan itu tidak bisa dikategorikan “sengaja”, karena ketiadaan kesengajaan tidak mewajibkan adanya qishas.
Sedangkan pembunuhan serupa dengan sengaja telah didefinisikan oleh para ahli fiqh dengan ungkapan mereka, “ ia sengaja melakukan tindakan kriminal yang tidak mengakibatkan kematian pada umumnya. Akan tetapi, orang menjadi mati karenanya, baik itu dengan rasa permusuhan terhadapnya atau untuk tujuan mendidiknya. Yang demikian ini serupa dengan sengaja karena pembunuh sengaja dengan perbuatannya dan salah karena menyebabkan pembunuhan.”
Di antara contoh pembunuhan serupa dengan sengaja adalah jika seseorang memukul orang lain yang tidak diyakini akan membunuhnya, karena itu dengan cambuk atau tongkat kecil, atau memukulnya dengan tangan tanpa berniat membunuh, namun orang yang dipukul itu meninggal akibat perbuatan itu. Maka yang demikian ini adalah serupa dengan sengaja yang mewajibkan kepadanya kafarat dengan harta pelaku pembunuhan tersebut. Yaitu, memerdekakan budak. Jika tidak mendapatkannya, ia wajib berpuasa dua bulan berturut-turut sebagaimana dalam pembunuhan yang tidak disengaja. Wajib memberikan diyat berat (diyat mughalladzah) dengan harta sebagai denda pelaku pembunuhan. Hal itu berdasarkan hadits Abu Hurairah ra yang artinya:
“ Dua orang wanita dari kabilah hudzail bertengkar sehingga salah seorang dari keduanya melempar yang lain dengan batu sehingga mengakibatkannya tewas dan anak dalam kandungannya. Lalu mereka bersengketa dan menghadap Rasulullah. Maka Rasulullah memutuskan untuk mengenakan diyat atas tanggungannya dengan memerdekakan budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan untuk mengenakan diyat atas wanita pelempar yang harus dibayar oleh kerabatnya”.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa tidak wajib dilakukan qishas atas pembunuh dengan pembunuhan serupa dengan sengaja. Diyatnya itu menjadi denda bagi kerabat pembunuh karena pembunuhan itu adalah suatu pembunuhan yang tidak mewajibkan qishas, diyatnya sebagai denda bagi pembunuh sebagaimana pelaku pembunuhan tidak sengaja.
Adapun pembunuhan yang tidak disengaja sebagaimana telah didefinisakn oleh para ulama’ bahwa seseorang melakukan sesuatu yang biasa dilakukan, seperti menembak binatang buruan, atau menembak ke suatu sasaran yang ternyata mengenahi manusia yang darahnya diharamkan dan tidak menjadi target sasarannya sehingga ia meninggal, atau membunuh seorang muslim yang berada dibarisan orang-orang kafir yang disangka sebagai orang kafir.
Pembunuhan yang tidak disengaja ada dua macam:
1. Mewajibkan kafarat atas pembunuh dan diyat untuk para kerabat si terbunuh. Yaitu, pembunuhan atas orang mukmin dengan tidak disengaja dan bukan di tengah-tengah barisan orang-orang kafir. Sedangkan orang yang terbunuh itu dari suatu kaum yang antara mereka dan kita ada suatu perjanjian.
2. Pembunuhan yang hanya mewajibkan diyat saja. Yaitu, membunuh seorang mukmin yang sedang berada di tengah-tengah barisan orang-orang kafir yang dikira oleh si pembunuh sebagai orang kafir.
2.4 Hukuman bagi Pembunuh
Untuk jenis pembunuhan yang kedua dan ketiga, maka pelakunya dikenakan hukuman harus membayar kafarat dan harus membayar diyat bagi keluarga si pembunuh. Allah swt berfirman:
• •
“ Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali Karena tersalah (Tidak sengaja)[334], dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat[335] yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah[336]. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya[337], Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS An-Nisaa’: 92)
[334] seperti: menembak burung terkena seorang mukmin.
[335] Diat ialah pembayaran sejumlah harta Karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan.
[336] Bersedekah di sini Maksudnya: membebaskan si pembunuh dari pembayaran diat.
[337] Maksudnya: tidak mempunyai hamba; tidak memperoleh hamba sahaya yang beriman atau tidak mampu membelinya untuk dimerdekakan. menurut sebagian ahli tafsir, puasa dua bulan berturut-turut itu adalah sebagai ganti dari pembayaran diat dan memerdekakan hamba sahaya.
Adapun untuk pembunuhan yang disengaja dan terencana, maka pihak wali dari terbunuh diberi dua alternatif, yaitu menuntut hukum qishash, atau memaafkan dengan mendapat imbalan diyat. Allah swt berfirman:
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih[111].” ( QS. Al-Baqarah: 178)
[111] Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.
عن أبي هريرةَ رضى الله عنه عن النبى ص٠م قال: مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَبِخَيْرِالنَّظَرَيْنِ إِمَّايُودَى وَإِمَّا أَنْ يُقَادُ
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Barang siapa yang dibunuh dan ia mempunyai keluarga, maka (pihak keluarganya) memilliki dua alternatif: boleh menuntut diat, boleh menuntut qhisash.” (HR. Muslim)
Diyat wajib ini sebagai ganti dari qishash. Oleh sebab itu, pihak keluarga terbunuh boleh berdamai dengan si pembunuh dengan jalan menuntut selain diyat, walaupun nilainya lebih besar daripada diyat. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw:
"Barangsiapa yang membunuh (orang tak bersalah) secara sengaja (dan terencana), maka urusannya kepada pihak keluarga si terbunuh. Jika mereka mau, menuntut hukum balas membunuh; dan jika mau, mereka menuntut diyat, yaitu (membayar) tiga puluh hiqqah (onta betina berusia tiga tahun yang masuk tahun keempat) dan tiga puluh jadza’ah (onta yang masuk tahun kelima) serta empat puluh khalifah (onta yang sedang bunting) dan, apa saja yang mereka tuntut kepadasi pembunuh sebagai imbalan perdamaian, maka ia (imbalan itu) untuk mereka, dan yang demikian itu untuk penekanan pada diyat."
Namun mema’afkan secara cuma-cuma, tanpa menuntut apa-apa kepada si pembunuh adalah sikap yang amat sangat utama lagi mulia. Firman-Nya:
.... ....
“...Dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu....” (Al-Baqarah: 278)
[151] ialah suami atau wali. kalau wali mema'afkan, Maka suami dibebaskan dari membayar mahar yang seperdua, sedang kalau suami yang mema'afkan, Maka dia membayar seluruh mahar.
Syarat-syarat Wajibnya Hukum Qishash
Hukum qishash tidak boleh dilaksanakan, kecuali telah memenuhi beberapa syarat berikut ini :
1. Si pembunuh haruslah orang mukallaf (aqil baligh), sehingga anak kecil, orang gila, dan orang yang tidur tidak terkena hukum qishash. Nabi saw bersabda:
رُفِعَ اْلقَلَمُ عَنِ ثَلَاثٍ˸ عن الصَّبِىِّ حتّى يَبْلُغَ وعنِ الْمَجْنُونِ حتّى يُوْفِيْقُ، وعنِ النَائِمِ حتّى يَسْتَيْقِظُ
“Diangkat pena dari tiga golongan: (Pertama) dari anak kecil hingga baligh, (kedua) dari orang tidak waras pikirannya hingga sadar (sehat), dan (ketiga) dari orang yang tidur hingga jaga.”
2. Orang yang terbunuh adalah orang yang terlindungi darahnya, yaitu bukan orang yang darahnya terancam dengan salah satu sebab yang disebutkan dalam hadits Nabi saw:
"Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan satu di antara tiga … dst."
3. Hendaknya si terbunuh bukanlah anak si pembunuh, karena ada hadist Nabi saw:
لَا يُقَادُ وَالِدٌ بِوَلَدِهِ
"Seorang ayah tidak boleh dibunuh karena telah membunuh anaknya."
4. Hendaknya si korban bukanlah orang kafir, sedangkan si pembunuh orang muslim. Nabi saw beersabda:
لَا يُقتَلُ مُسْلِمٌ بكَافِرٍ
“Orang muslim tidak boleh dibunuh karena telah (membunuh) orang kafir.”
5. Hendaknya yang terbunuh bukan seorang hamba sahaya, sedang si pembunuh orang merdeka. Al-Hasan berkata:
لَا يُقتَلُ حُرٌّبِعَبْدٍ
“Orang merdeka tidak boleh dibunuh karena (telah membunuh) seorang budak.”
Ini adalah madzhab jumhur ulama’, mereka dengan banyak dalil yang kesemuanya tidak lepas dari pembicaraan. Syaikh Asy-Syinqithi rhm, dalam kitab Adhwa-ul Bayan menyebutkan dalil-dalil tersebut, kemudian beliau berkata: Riwayat-riwayat ini banyak, meskipun masing-masing darinya tidak lepas dari pembicaraan, namun sebagiannya memperkokoh sebagian yang lain dan saling menguatkan sehingga kesemuanya pantas dan boleh dijadikan hujjah. Dalil-dalil ini menetapkan bahwa orang merdeka tidak boleh dibunuh karena telah membunuh hamba sahaya. Dalil-dalil ini menetapkan bahwa orang merdeka tidak boleh dibunuh karena telah membunuh hamba sahaya.
Jika tidak ada tuntutan qishash pada sebagian anggota badan, maka sudah barang tentu tidak ada qishash dalam kasus pembunuhan dan tidak ada yang menentang ketetapan ini, kecuali Daud (Az-Zhain) dan Ibnu Ali Laila. Dalil-dalil itu juga menjadi hujjah atas para ulama’ yang berpendapat dalam kasus pembunuhan (oleh orang merdeka terhadap budak) karena tersalah, tidak disengaja, hanya ada kewajiban membayar qimah (sesuatu yang senilai), bukan diyat. Namun sekelompok ulama’ membatasi manakala qimahnya tidak sampai melebihi diat orang merdeka.
Dalil-dalil itu juga memutuskan bahwa kalu seorang merdeka menuduh hamba sahaya berbuat zina, maka ia (orang merdeka itu) tidak wajib dijatuhi hukum had menurut mayoritas ulama’, kecuali riwayat dari Ibnu Umar al-Hasan dan kelompok Zhahiriyah yang mewajibkan hukum had atas orang yang menuduh ummul berzina (secara khusus) tuduhan itu kepada ummul walad.”
Sekelompok Diqsishash Karena Telah Membunuh Seorang
Apabila ada sekelompok orang sepakat membunuh satu orang, maka mereka semua dibunuh juga. Ini berpijak pada riwayat Imam Malik: Dari Sa’id bin Musayyab bahwa Umar bin Khathab ra pernah membunuh sekelompok orang, yaitu lima atau tujuh orang karena telah membunuh seorang laki-laki dengan pembunuhan secara tipu daya (yaitu membujuk korban hingga mau keluar ke tempat yang sepi lalu dibunuh), dan dia berkata, 'Andaikata penduduk negeri Shan’a bersekongkol membunuhnya, niscaya kubunuh mereka semuanya.'”
Jelasnya Pelaksanaan Hukum Qishash
Hukum qishash bisa menjadi jelas dilaksanakan dengan salah satu dari dua hal berikut:
1) Pengakuan dari pelaku
Dari Anas ra, bahwa ada seorang Yahudi menumbuk kepala seorang budak perempuan di antara dua batu. Lalu ia (budak itu) ditanya, “Siapa yang berbuat begini kepadamu? si A atau si B?” Hingga disebutlah nama orang Yahudi itu, lalu dia menganggukkan kepalanya. Kemudian didatangkanlah orang Yahudi itu, lalu (setelah ditanya) dia mengaku. Kemudian Nabi saw menyuruh agar kepala Yahudi itu ditumbuk dengan batu (juga).
2) Kesaksian dua oranglaki-laki yang adil
Dari Rafi’ bin Khadif ra berkata: “Pada suatu pagi ada seorang laki-laki dari kaum Anshar terbunuh di daerah Khaibar, lalu berangkatlah keluarganya menemui Nabi saw lantas mereka menyampaikan kasus pembunuhan tersebut kepada Beliau. Kemudian Beliau bersabda, “Apakah kelian memiliki dua laki-laki yang menyaksikan proses pembunuhan saudaramu itu?” Jawab mereka, “Ya Rasulullah, di sana tak ada seorang pun dari kaum muslimin. Mereka hanyalah kaum Yahudi dan tidak jarang mereka ini melakukan penganiayaan lebih kejam daripada ini.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, pilihlah lima puluh di antara mereka, kemudian ambillah sumpah mereka.” Namun mereka menolak. Kemudian Nabi saw membayar diat kepada ahli kurban dari kantongnya sendiri.”
Syarat-Syarat Penyempurnaan Pelaksanaan Qishash
Demi kesempurnaan qishash ada tiga syarat yang harus di penuhi:
a) Ahli waris si kurban harus mukallaf. Jika ahli warisnya masih belum dewasa atau gila, maka si pembunuh harus dipenjara hingga ahli warisnya itu mukallaf.
b) Pihak keluarga korban sepakat menuntut hukum qishash, karena itu manakala ada sebagian di antara mereka yang mema’afkan secara gratis, maka gugurlah hukum qishash dari si pembunuh.
Dari Zaid bin Wahab, bahwa Umar ra pernah diajukan kepadanya seorang laki-laki yang telah membunuh laki-laki lain. Kemudian keluarga si terbunuh menghendaki qishash, maka ada saudara perempuan si terbunuh --dan ia adalah isteri si pembunuh berkata--, “Sungguh bagianku saya maafkan kepada suamiku.” Kemudian Umar berkata, “Hendaklah laki-laki yang membunuh itu memerdekakan budak sebagai sanksi dari pembunuhannya.”
Darinya (Zaid bin Wahab), ia berkata, “Ada seorang suami mendapati laki-laki lain berduaan dengan isterinya, kemudian dia bunuh isterinya. Kemudian kasus tersebut diajukan kepada Umar bin Khatab ra lalu dia mendapati sebagian saudara isterinya berada di sana, kemudian ia (saudara isterinya itu) menshadaqahkan bagiannya kepadanya (si pembunuh). Kemudian Umar ra menyuruh (si pembunuh) membayar diat kepada mereka semua.”
a) Pelaksanaan hukuman tidak boleh merembet kepada pihak yang tidak bersalah. Oleh karena itu, hukum qishash yang wajib dijatuhkan kepada seorang perempuan yang hamil, maka ia tidak boleh dibunuh sebelum melahirkan kandungannya, dan sebelum menyusuinya pada awal penyusuannya.
Yaitu penyusuan pertama kali, penyusuan ini amat sangat penting bagi kesehatan sang bayi, sedangkan melaksanakan hukum qishash pada seorang ibu sebelum menyusuinya (penyusuan pertama), sangat membahayakan si bayi. Kemudian manakala setelah penyusuan pertama itu ada orang yang bersedia menyusuinya, maka serahkanlah kepadanya, lantas sang ibu harus diqishash. Ini sesuai dengan hadist Imam Muslim. Jika ternyata tidak didapati ibu yang siap menyusuinya, maka ibu itu dibiarkan supaya menyusui anaknya dua tahun. Ini sesuai dengan hadist berikut:
Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya ra bahwa ada seorang perempuan al-Ghamidiyah berkata kepada Nabi saw, “(Ya Rasulullah), sesungguhnya saya telah berbuat sebuah kejahatan.” Sabda Beliau, “Kembalilah!” Lalu ia kembali (pulang). Kemudian pada esok harinya, ia datang (lagi) lalu berkata, “(Ya Rasulullah), barangkali engkau menolakku sebagaimana halnya engkau pernah menolak Ma’iz bin Malik? Demi Allah, sesungguhnya saya benar-benar telah hamil.” Sabda Beliau kepadanya, “Kembalilah!” Kemudian ia kembali pulang, kemudian pada esok harinya, ia datang (lagi) kepada Beliau, lalu Beliau bersabda kepadanya, “Kembalilah kau hingga kamu melahirkan!” Maka kembalilah sang perempuan, kemudian tatkala ia sudah melahirkan, ia datang lagi menemui Beliau dengan membawa bayinya, lantas berkata, “(Ya Rasulullah), ini bayi yang saya lahirkan.” Kemudian Beliau bersabda kepadanya, “Pulanglah dan susuilah bayimu itu hingga engkau menyapihnya.” Kemudian ia datang (lagi) dengan anak kecilnya yang sudah disapih, sementara di tangannya ada makanan yang dimakannya. Kemudian Rasulullah saw menyuruh agar anak kecil itu diserahkan kepada seorang sahabat yang hadir kala itu, lantas Beliau menyuruh shahabat menggali lubang untuk sang perempuan itu, lalu dirajam. Dan, adalah Khalid salah seorang yang merajamnya dengan batu, lalu dia (Khalid) mendapatkan percikan darahnya mengenai pipinya, lalu ia pun mengumpat dan mencacinya. Maka Nabi saw bersabda kepadanya, "Ya Khalid, tenanglah! (jangan emosi), demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh ia benar-benar telah bertaubat, yang andaikata taubat tersebut dilakukan oleh seorang yang banyak memungut pajak-pajak liar niscaya diampuni dosa-dosanya." Dan Rasulullah menyuruh (para sahabat mengurus jenazahnya), lalu jenazah wanita disholatkan, kemudian dikubur.
Teknik Pelaksanaan Hukum Qishash
Prinsip pelaksanaan hukum qishash, si pembunuh harus dibunuh sebagaimana cara ia membunuh, karena hal ini merupakan hukuman yang setimpal dan sepadan. Allah swt berfirman:
• •
“ Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa”.
“ Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamuakan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar”
Di samping itu, Rasulullah saw pernah melempar dengan batu kepala orang Yahudi sebagaimana orang termaksud melempar dengan batu kepala seorang perempuan
Pelaksanaan Hukum Qishash menjadi wewenang Hakim
Musafir (pakar tafsir) kenamaan, al-Qurthubi mengatakan, “Tiada khilaf di kalangan ulama’ bahwa yang berwenang melaksanakan hukum qishash, khususnya balas bunuh, adalah pihak penguasa. Mereka inilah yang berwenang melaksanakan hukum qishash dan hukum had dan yang semisalnya, karena Allah swt menuntut segenap kaum Mukminin untuk melaksanakan qishash, kemudian ternyata mereka semua tidak sanggup untuk berkumpul melaskanakan hukum qishash maka mereka mengangkat penguasa (hakim) sebagai wali dari mereka dalam melaksanakan hukum qishash dan lain-lainnya yang termasuk hukum had.”
Sebab yang demikian itu disebutkan oleh ash-Shawi dalam Hasyiyahnya atas tafsir al-Jalalain. Dia menulis sebagai berikut, "Manakala telah tetap bahwasanya pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja sebagai sebuah permusuhan, maka wajib atas hakim syar’i untuk memberi wewenang untuk wali si terbunuh terhadap si pembunuh. Lalu pihak hakim melaksanakan kebijakan yang dituntut oleh wali (keluarga) si terbunuh terhadap si pembunuh, yaitu balas bunuh, atau memaafkan, atau menuntut diat. Dan wali (keluarga) si terbunuh tidak boleh bertindak terhadap si pembunuh sebelum mendapat izin resmi dari hakim. Karena dalam hal ini terdapat kerusakan dan pengrusakan terhadap wewenang hakim. Oleh sebab itu, manakala pihak wali (keluarga) si terbunuh membunuh si pembunuh sebelum mendapat izin dari penguasa, maka pelakunya harus dijatuhi hukuman ta'zir (hukuman yang berdasar kebijakan hakim'."
Hukum Qishash Selain Balas Bunuh
Sebagaimana telah berlaku secara sah hukum qishash berupa balas bunuh, maka begitu juga berlaku secara sah hukum yang tidak sampai pada pembunuhan. Allah swt berfirman:
• • •
“ Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS Al-Maaidah: 45)
Meskipun hukum ini telah diwajibkan pada ummat sebelum kita, sehingga ia menjadi syar’un man-qablana (syariat yang pernah dibelakukan pada umat sebelum kita), namun ia merupakan syariat bagi kita pula karena diakui atau ditetapkan oleh Nabi saw. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan sebagai berikut:
Dari Anas bin Malik ra bahwa Rubayyi’ binti an-Nadhr bin Anas ra telah memcahkan gigi seri seorang budak perempuan, kemudian mereka (keluarga Rubayyi’) bersikeras untuk membayar diat kepada mereka (keluarga si budak), lalu mereka (keluarga si budak), lalu mereka (keluarga si budak) tidak mau menerima melainkan qishash. Maka datanglah saudara Rubayyi’, Anas bin Nadhr, lalu bekata, “Ya Rasulullah, Engkau akan memecahkan gigi seri Rubayyi’! Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa yang haq, janganlah engkau memecahkannya”. Kemudian Beliau bersabda, “Wahai Anas, menurut ketetapan Allah swt (harus) qishash.” Kemudian mereka pada ridha dan memaafkan (Rubayyi’). Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah swt ada yang kalau bersumpah atas nama Allah swt pasti melaksanakannya.”
Syarat-Syarat Qishash Selain Balasan Akan Pembunuhan
Untuk Qishash yang selain balas bunuh ditetapkan syarat-syarat berikut:
1. Yang melaksanakan penganiayaan harus sudah mukallaf
2. Sengaja melakukan jinayat, tindak penganiayaan. Karena pembunuhan yang bersifat keliru, tidak disengaja, pada asalnya tidak memastikan si pembunuh harus dituntut balas bunuh. Demikian pula halnya tindak pidana yang lebih ringan daripadanya.
3. Hendaknya status si penganiaya dengan yang teraniaya sama. Oleh karena itu, seorang muslim yang melukai kafir dzimmi tidak boleh diqishash, demikian pula dengan orang merdeka yang melukai hamba sahaya, dan seorang ayah yang melukai anaknya.
Oleh karena itu, seorang muslim yang melukai kafir dzimmi tidak boleh diqishash, demikian pula dengan orang merdeka yang melukai hamba sahaya, dan seorang ayah yang melukai anaknya.
Hukum Qishash Yang Menimpa Anggota Tubuh
Untuk melaksanakan hukum qishash yang menimpa bagian anggota tubuh ada tiga syarat yang harus dipenuhi:
1) Memungkinkan pelaksanaan qishash ini berjalan secara adil dan tidak melahirkan penganiayaan baru. Misalnya memotong persendian siku, pergelangan tangan, atau kedua sisi hidung yang lentur, bukan tulangnya. Maka tidak ada qishash pada tubuh bagian dalam, tidak pula pada tengah lengan dan tidak pula pada tulang yang terletak di bawah gigi (tulang rahang).
2) Nama dan letak anggota tubuhnya sama. Karenanya, bagian anggota yang kanan tidak boleh dibalas dengan bagian anggota badan yang kiri, bagian anggota tubuh yang kiri tidak boleh dengan yang kanan, jari kelingking tidak boleh dengan jari manis, dan tidak pula sebaliknya karena tidak sama dalam hal nama, dan tidak pula bagian anggota tubuh yang asli dibalas dengan yang tambahan (melalui proses operasi) karena tidak sama dalam letak dan daya manfaatnya.
3) Kondisi bagian anggota tubuh si penganiaya harus sama dengan yang teraniaya dalam hal kesehatan dan kesempurnaan. Oleh sebab itu, tidak boleh anggota tubuh yang sehat dibalas dengan yang berpenyakit dan tidak pula tangan yang sehat lagi sempurna dibalas dengan tangan yang kurang jari-jarinya: namun boleh sebaliknya.
Diqishash Karena Sengaja Melukai Orang Lain
Adapun kasus melukai orang lain secara sengaja, maka dalam kasus tersebut tidak wajib diqishash, kecuali pelaksanaannya sangat memungkinkan, yaitu sekiranya bisa melukai si penganiaya sama dengan luka yang diderita si korban, tanpa ada kelebihan dan pengurangan. Karenanya, apabila pelaksanan qishash ini tidak mungkin menghasilkan luka yang sama dan sepadan, melainkan mesti kadar ukurannya lebih, atau dapat membahayakan si penganiaya, atau justru membahayakan orang yang dijatuhi qishash ini, maka dalam hal ini tidak wajib diqishash, akan tetapi wajib membayar diat kepada si teraniaya.
2. 5 Hikmah Dilarangnya Pembunuhan
• Memberi pelajaran kepada masyarakat agar tidak melakukan perbuatan keji.
• Manusia yang satu dengan yang lain saling menempatkan kedudukan yang tinggi baik di dalam hukum manusia maupun di hadapan Allah SWT.
• Menyelamatkan jiwa manusia.
• Terciptanya keamanan dan ketentraman dalam kehidupan sehari-hari.
• Memelihara kerukunan
• Memelihara harta dan kehormatan
• Memelihara kemashlahatan antar agama.
BAB II
DAFTAR RUJUKAN
Bin As-Sayyid Salim, Abu Malik Kamal. Shahih Fiqih Sunnah Lengkap berdasarkan Dalil-dalil dan penjelasan para imam yang termasyhur. Jakarta: PustakaAzzam, 2007.
Bin Badawi Al-Khadafi, AbduL ‘Azhim. Al-Wajiz ensiklopedi Fiqih Islam dalam Al-Qur’an dan As-sunnah As-Shahihah. Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2008.
Bin Fauzan Al- Fauzan, Syaikh Dr. Shalih. Rigkasan Fiqh Lengkap. Jakarta: PT Darul Falah, 2005.
Muhammad Syah, Ismail. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Radar Jaya Offset, 1992.
Saleh, Hassan. Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Bin Badawi Al-Khadafi, AbduL ‘Azhim. Al-Wajiz Panduan Fiqh Lengkap. Bogor: Pustaka Ibnu, 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar